Senin, 13 Agustus 2018

NEW YORK AGREEMENT - Bagi Bangsa Papua Ilegal

Proses Ilegal perjanjian New York Agreement 15 Agustus 1962 dan Pentuan Pendapat Rakyat (PEPERA) 1969
Poroses Aneksasi bangsa Papua Barat ke dalam Negara kesatuan Rebuplik Indoneia (NKRI) dilakukan dengan ilegal berawal dari Trikora 19 desember 1961 perjanjian New York Agreement 15 Agustus 1962 , penjerahan adminstrasi Papua Barat diserahkan kepada Indonesia oleh UNTEA dan proses pelaksnaan Pepera 1969.
Ketika Papua Barat masih menjadi daerah sengketa akibat perebutan wilayah itu antara Indonesia dan Belanda, tuntutan rakyat Papua Barat untuk merdeka sebagai negara merdeka sudah ada jauh sebelum kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945. Memasuki tahun 1960-an para politisi dan negarawan Papua Barat yang terdidik lewat sekolah Polisi dan sebuah sekolah Pamongpraja (Bestuurschool) di Jayapura (Hollandia), dengan mendidik 400 orang antara tahun 1944-1949 mempersiapkan kemerdekaan Papua Barat.
Ketika Papua Barat masih menjadi daerah sengketa akibat perebutan wilayah itu antara Indonesia dan Belanda, tuntutan rakyat Papua Barat untuk merdeka sebagai negara merdeka sudah ada jauh sebelum kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945. Memasuki tahun 1960-an para politisi dan negarawan Papua Barat yang terdidik lewat sekolah Polisi dan sebuah sekolah Pamongpraja (Bestuurschool) di Jayapura (Hollandia), dengan mendidik 400 orang antara tahun 1944-1949 mempersiapkan kemerdekaan Papua Barat.
Selanjutnya atas desakan para politisi dan negarawan Papua Barat yang terdidik, maka pemerintah Belanda membentuk Nieuw Guinea Raad (Dewan Nieuw Guinea). Beberapa tokoh-tokoh terdidik yang masuk dalam Dewan ini adalah M.W. Kaisiepo dan Mofu (Kepulauan Chouten/Teluk Cenderawasih), Nicolaus Youwe (Hollandia), P. Torey (Ransiki/Manokwari), A.K. Gebze (Merauke), M.B. Ramandey (Waropen), A.S. Onim (Teminabuan), N. Tanggahma (Fakfak), F. Poana (Mimika), Abdullah Arfan (Raja Ampat). Kemudian wakil-wakil dari keturunan Indo-Belanda adalah O de Rijke (mewakili Hollandia) dan H.F.W. Gosewisch (mewakili Manokwari). Setelah melakukan berbagai persiapan disertai dengan perubahan politik yang cepat akibat ketegangan Indonesia dan Belanda, maka dibentuk Komite Nasional yang beranggotakan 21 orang untuk membantu Dewan Nieuw Guinea dalam mempersiapkan kemerdekaan Papua Barat.
Komite ini akhirnya dilengkapi dengan 70 orang Papua yang berpendidikan dan berhasil melahirkan Manifesto Politik yang isinya:
MANIVETO POLITIK PAPUA BARAT
1. Menetukan nama Negara : Papua Barat
2. Menentukan lagu kebangsaan : Hai Tanahku Papua
3. Menentukan bendera Negara : Bintang Kejora
4. Menentukan bahwa bendera Bintang Kejora akan dikibarkan pada 1 November 1961.
Lambang Negara Papua Barat adalah Burung Mambruk dengan semboyan “One People One Soul”.
Komite Nasional, maka Bendera Bintang Kejora dikibarkan pada 1 Desember 1961 di Hollandia, sekaligus “Deklarasi Kemerdekaan Papua Barat”. Bendera Bintang Kejora dikibarkan di samping bendera Belanda, dan lagu kebangsaan “Hai Tanahku Papua” dinyanyikan setelah lagu kebangsaan Belanda “Wilhelmus”. Deklarasi kemerdekaan Papua Barat ini disiarkan oleh Radio Belanda dan Australia. Momen inilah yang menjadi Deklarasi Kemerdekaan Papua Barat secara de facto dan de jure sebagai sebuah negara yang merdeka dan berdaulat.
Pada tanggal 19 Desember 1961 Presiden Soekarno mengeluarkan Tri Komando Rakyat di Alun-alun Utara Yogyakarta yang isinya:
1. Gagalkan Pembentukan “Negara Boneka Papua” buatan Belanda Kolonial 
2.Kibarkan Sang Merah Putih di Irian Barat Tanah Air Indonesia 
3. Bersiaplah untuk mobilisasi umum guna mempertahankan kemerdekaan dan kesatuan Tanah Air dan Bangsa.
Realisasi dari isi Trikora ini, maka Presiden Soekarno sebagai Panglima Besar Komando Tertinggi Pembebasan Irian Barat mengeluarkan Keputusan Presiden No. 1 Tahun 1962 yang memerintahkan kepada Panglima Komando Mandala, Mayor Jendral Soeharto untuk melakukan operasi militer ke wilayah Irian Barat untuk merebut wilayah itu dari tangan Belanda.
Akhirnya dilakukan beberapa gelombang Operasi Militer di Papua Barat dengan satuan militer yang diturunkan untuk operasi lewat udara dalam fase infiltrasi seperti Operasi Banten Kedaton, Operasi Garuda, Operasi Serigala, Operasi Kancil, Operasi Naga, Operasi Rajawali, Operasi Lumbung, Operasi Jatayu. Operasi lewat laut adalah Operasi Show of Rorce, Operasi Cakra, dan Operasi Lumba-lumba. Sedangkan pada fase eksploitasi dilakukan Operasi Jayawijaya dan Operasi Khusus (Opsus). Melalui operasi ini wilayah Papua Barat diduduki, dan dicurigai banyak orang Papua yang telah dibantai pada waktu itu.
Dan Soekarno mengancam kepada Negara Amerika serikat dan negara barat dengan memohon dukungan dari pemerintah bekas Uni Sovyet untuk menganeksasi Papua Barat jika pemerintah Belanda tidak bersedia menyerahkan Papua Barat ke tangan Republik Indonesia.
Pemerintah Amerika Serikat (AS) pada waktu itu sangat takut akan jatuhnya negara Indonesia ke dalam Blok komunis. Soekarno dikenal oleh dunia barat sebagai seorang Presiden yang sangat anti imperialisme barat dan pro Blok Timur. Pemerintah Amerika Serikat ingin mencegah kemungkinan terjadinya perang fisik antara Belanda dan Indonesia.
Maka Amerika Serikat memaksa pemerintah Belanda untuk menyerahkan Papua Barat ke tangan Republik Indonesia. Di samping menekan pemerintah Belanda, pemerintah AS berusaha mendekati presiden Soekarno. Soekarno diundang untuk berkunjung ke Washington (Amerika Serikat) pada tahun 1961. Tahun 1962 utusan pribadi Presiden John Kennedy yaitu Jaksa Agung Robert Kennedy mengadakan kunjungan balasan ke Indonesia untuk membuktikan keinginan Amerika Serikat tentang dukungan kepada Soekarno di dalam usaha menganeksasi Papua Barat.
Untuk mengelabui mata dunia, maka proses pengambil-alihan kekuasaan di Papua Barat dilakukan melalui jalur hukum internasional secara sah dengan dimasukkannya masalah Papua Barat ke dalam agenda Majelis Umum PBB pada tahun 1962. Dari dalam Majelis Umum PBB dibuatlah Perjanjian New York 15 Agustus 1962 yang mengandung “Act of Free Choice” (Pernyataan Bebas Memilih). Act of Free Choice kemudian diterjemahkan oleh pemerintah Republik Indonesia sebagai PEPERA (Pernyataan Pendapat Rakyat) yang dilaksanakan pada tahun 1969.
Penandatanganan New York Agreement (Perjanjian New York) antara Indonesia dan Belanda yang disaksikan oleh Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa Bangsa, U Thant dan Duta Besar Amerika Serikat untuk PBB, Ellsworht Bunker pada tanggal 15 Agustus 1962. Beberapa hal pokok dalam perjanjian serta penyimpangannya (kejanggalan) adalah sebagai berikut: 
1. New York Agreement (Perjanjin New York) adalah suatu kesepakatan yang tidak sah, baik secara yuridis maupun moral. Perjanjanjian New York itu membicarakan status tanah dan nasib bangsa Papua Barat, namun di dalam prosesnya tidak pernah melibatkan wakil-wakil resmi bangsa Papua Barat.
2. Sejak 1 Mei 1963, bertepatan dengan Unites Nations Temporrary Executive Administratins (UNTEA) atau Pemerintahan Sementara PBB di Papua Barat menyerakan kekuasaanya kepada Indonesia, selanjutnya pemerintah Indonesia mulai menempatkan pasukan militernya dalam jumlah besar di seluruh tanah Papua, akibatnya hak-hak politik dan hak asasi manusia dilanggar secara brutal di luar batas-batas kemanusiaan.
Pasal XVIII ayat (d) New York Agreement mengatur bahwa “The eligibility of all adults, male and female, not foreign nationals to participate in the act of self determination to be carried out in accordance whit international practice”.
Aturan ini berarti penentuan nasib sendiri harus dilakukan oleh setiap orang dewasa Papua pria dan wanita yang merupakan penduduk Papua pada saat penandatanganan New York Agreement. Namun hal ini tidak dilaksanakan. Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA) 1969 dilaksanakan dengan cara lokal Indonesia, yaitu musyawarah oleh 1025 orang dari total 600.000 orang dewasa laki-laki dan perempuan.
Sedangkan dari 1025 orang yang dipilih untuk memilih, hanya 175 orang saja yang menyampaikan atau membaca teks yang telah disiapkan oleh pemerintah Indonesia. Selain itu masyarakat Papua Barat yang ada di luar negeri, yang pada saat penandatangan New York Agreement tidak diberi kesempatan untuk terlibat dalam penentuan nasib sendiri itu.
Teror, intimidasi dan pembunuhan dilakukan oleh militer sebelum dan sesaat PEPERA 1969 untuk memenangkan PEPERA 1969 secara sepihak oleh pemerintah dan militer Indonesia. Buktinya adalah Surat Rahasia Komandan Korem 172, Kolonel Blego Soemarto, No.: r-24/1969, yang ditujukan kepada Bupati Merauke selaku anggota Muspida kabupaten Merauke, isi surat tersebut:
“Apabila pada masa poling tersebut diperlukan adanya penggantian anggota Demus (dewan musyawarah), penggantiannya dilakukan jauh sebelum MUSAYAWARAH PEPERA. Apabila alasan-alasan secara wajar untuk penggantian itu tidak diperoleh, sedang dilain pihak dianggap mutlak bahwa anggota itu perlu diganti karena akan membahayakan kemenangan PEPERA, harus berani mengambil cara yang ‘tidak wajar’ untuk menyingkirkan anggota yang bersangkutan dari persidangan PEPERA sebelum dimulainya sidang DEMUS PEPERA. Sebagai kesimpulan dari surat saya ini adalah bahwa PEPERA secara mutlak harus kita menangkan, baik secara wajar atau secara ‘tidak’ wajar.”
Mengingat bahwa wilayah kerja komandan Korem 172 termasuk pula kabupaten-kabupaten lain di luar kabupaten Merauke, maka patut diduga keras surat rahasia yang isinya kurang lebih sama juga dikirimkan ke bupati-bupati yang lain.
Pada tahun 1967 Freeport-McMoRan (sebuah perusahaan Amerika Serikat) menandatangani Kontrak Kerja dengan pemerintah Indonesia untuk membuka pertambangan tembaga dan emas di Pegunungan Bintang, Papua Barat. Freeport memulai operasinya pada tahun 1971. Kontrak Kerja kedua ditandatangani pada tanggal 30 Desember 1991. Kepentingan Amerika Serikat di Papua Barat, yang ditandai dengan adanya penandatanganan Kontrak Kerja antara Freeport dengan pemerintah Republik Indonesia, menjadi realitas. Ini terjadi dua tahun sebelum PEPERA 1969 dilaksanakan di Papua Barat. Di sini terjadi kejanggalan yuridis, karena Papua Barat dari tahun 1962 hingga 1969 dapat dikategorikan sebagai daerah sengketa.
Penentuan Pendapat Rakyat tahun 1969 tidak sah karena dilaksanakan dengan sistem “musyawarah” (sistem local Indonesia) yang bertentangan dengan isi dan jiwa New York Agreement, di samping itu PEPERA 1969 dimenangkan oleh Indonesia lewat terror, intimidasi, penangkapan, dan pembunuhan (pelanggaran hukum, HAM dan esensi demokrasi). Kemenangan PEPERA secara cacat hukum dan moral ini akhirnya disahkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa lewat Resolusi Nomor 2509 dan diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia melalui Keppres Nomor 7 tahun 1971. 
Berikut ini adalah jadwal pelaksanaan PEPERA, Jumlah wakil/utusan berdasarkan unsur, dan jumlah wakil/utusan yang memberikan pendapat.
Jadwal Pelaksanaan Pepera 1969
Tanggal Kabupaten Anggota DEMUS Penduduk
14 Juli 1969 Merauke 175 144.171
16 Juli 1969 Jayawijaya 175 165.000
19 Juli 1969 Paniai 175 156.000
23 Juli 1969 Fakfak 75 43.187
26 Juli 1969 Sorong 110 75.474
29 Juli 1969 Manokwari 75 89.875
31 Juli 1969 Teluk Cenderawasih 130 83.000
02 Agustus 1969 Jayapura 110 81.246
J u m l a h 1.025 809.337
Jumlah Wakil/Utusan Berdasarkan Unsur
No Unsur Jumlah Wakil/Utusan
1 Kepala Suku/Adat 400 orang
2 Daerah (Gereja/Alim Ulama) 360 orang
3 Orpol/Ormas 265 orang
J u m l a h 1.025 orang
Jumlah Wakil/Utusan yang Memberikan Pendapat
No Kabupaten Memberikan Pendapat Jumlah Utusan Sakit
1 Merauke 20 175 1
2 Jayawijaya 18 175 1
3 Paniai 28 175 -
4 Fakfak 17 75 -
5 Sorong 16 110 -
6 Manokwari 26 75 -
7 Teluk Cenderawasih 24 130 1
8 Jayapura 26 110 1
J u m l a h 175 1.025 4
Dengan demikian proses pelaksanaan pepera 1969 adalah ilegal dan penuh dengan rekajasa cacat hukum dan moral oleh karena itu Referendum Ulang harus dilakukan secara damai dan bermartabat di Papua Barat.
Mengapa orang Papua di Papua Barat minta referendum secara damai karena rakyat Papua ketahui bahwa Solusi bagi Rakyat Papua Barat adalah “Referendum” menentukan Nasib bagi rakyat Papua Barat “selft Determination”, terkait dengan adanya Intimidasi dan ketidakadilan yang selama ini terjadi di tanah Papua Barat atas prilaku kelakuan busuk oleh NKRI.
Karena kehadiran Militerisme (Tni-Polri) Neokolonialisme (Birokrasi Rezim NKRI), dan Imprealisme (Perusahan-perusahan asing dengan sogokan kaki tangan NKRI) di Papua. Kehadiran kerja mereka Papua hanya Membunuh rakyat sipil Merampas Kekayaan alam dengan penindas rakyat pemilik daratan Pulau Cenderawasih Papua dengan tindakan-tindakan tidak Manusiawi yang dilakukan ketiga musuh besar diatas dengan melancarkan tekanan demi tekanan yaitu Intimidasi, terror Pemerkosaan, Penembakan, penangkapan, dan Pemenjarahan terhadap rakyat tidak berdosa.
Kami diperbudak dan kami minoritas diatas negeri kami sendiri. Dengan alasan singkat ini maka rakyat Papua sejutuh untuk “Referemdum”, jalan ini solusi terakhir menuju cita-cita leluhur bangsa Papua barat Runpun Malanesia. Piter

Minggu, 12 Agustus 2018

Resensi Buku Pembantai Timor Timur Horor Masyarakat Internasional

     Judul : Pembantaian Timor Timur: Horor Masyarakat Internasional

Penulis : Joseph Nevins
Penerbit : Galang Press, Yogyakarta
Cetakan : I, Juli 2008
Tebal : xxiii + 375 Halaman

Timor Timur merdeka dari indonesia melalui referendum pada tanggal 30 Agustus 1999. Kemerdekaan itu didapat setelah jajak pendapat yang dilakukan oleh Presiden BJ Habibie. Habibie mengeluarkan dua opsi pada rakyat Timor Timur: pertama, merdeka atau lepas dari Negara Kesatuan Republik Indonesia; kedua, diberi otonomi khusus atau tetap bergabung sebagai provinsi termuda Indonesia. Hasilnya, provinsi itu lepas dari Indonesia setelah pengumuman hasil referendum pada 4 September 1999 menunjukkan bahwa 78,5 persen penduduknya memilih opsi pertama.
Ide pelepasan Timor Timur dari Indonesia membawa luka dan sejarah kelam bagi negeri itu. Indonesia meninggalkan atau melepas Timor Timur dengan banjir darah, pembantaian besar-besaran, pembunuhan, pembakaran, pengusiran dan penghancuran fasilitas umum serta berbagai tindakan yang menjurus pada tindak kejahatan kemanusiaan lainnya. Puncak dari kejahatan kemanusiaan itu terjadi pada 4 September 1999 dan sejak saat itu Timor Timur kembali pada titik nol, titik balik peradaban dan kehancuran peradaban manusia.
Pada bulan September Tentara Nasional Indonesia dan kelompok milisi dilaporkan telah melakukan sejumlah pembunuhan, pembakaran rumah, dan pengusiran secara paksa terhadap warga Timor-Timur yang memilih untuk merdeka dalam referendum yang dilaksanakan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) itu.
Setelah selama seperempat abad pendudukan, sekitar seribu sampai dua ribu warga sipil terbunuh hanya dalam beberapa bulan sebelum dan beberapa hari sesudah referendum. Sekitar 500 ribu orang terpaksa meninggalkan tempat tinggal mereka dan lari mengungsi.
Kejadian yang mengiris hati itu terus berlangsung sampai Timor Timur mendapatkan kemerdekaannya pada 20 Mei 2002. Saat itu, keran demokrasi dibuka lebar dan kebebasan sudah bisa dinimati. Tetapi, di balik itu, warga Timor Timur masih menyimpan dan menyisakan luka yang menganga, luka kemanusiaan yang tidak cukup diungkapkan dengan sebuah buku.
Buku yang bertajuk Pembantaian Timor Timur: Horor Masyarakat Internasionalkarya Joseph Nevins, seorang aktivis peduli hak asasi manusia dari Los Angeles, ini mencoba merekam jejak tragedi kemanusiaan yang menimpa warga Timor Timur yang terjadi sebelum dan setelah referendum.
Bagi Nevins, Timor Timur adalah negeri yang penuh dengan konflik. Bahkan, menurut laporan Komisi Penyelidik Pelanggaran Hak Asasi Manusia (KKP HAM) Timor Timur yang dibentuk Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), kejahatan kemanusiaan yang terjadi itu merupakan hasil dari persekongkolan yang sudah sistematis dan meluas dengan baik.
Hal ini terbukti dengan adanya gelontoran dana yang yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Pemerintah Daerah dan alokasi anggaran rutin pembangunan daerah dan dana Jaring Pengaman Sosial (JPS) untuk membiayai pembentukan dan perekrutan anggota Pasukan Pengamanan Swakarsa (Pamswakarsa). Bukan hanya itu, TNI terbukti juga memasok berbagai persenjataan kepada para milisi, mulai dari senjata jenis SKS, M-16, Mauser/G-34, granat, pistol, dan sejumlah senapan rakitan. (hlm. xxi)
Lebih dari itu, kasus pembantaian dan kejahatan kemanusiaan yang terjadi di sana sudah terjadi sejak 1975 sampai 1999. Kejadian itu bermula dari operasi militer Indonesia pada 7 Desember 1975 ke wilayah seluas 14.615 kilometer persegi atau 0,76 persen dari luas Indonesia itu. Sejak itu muncul apa yang dikenal sebagai “masalah Timor Timur”, termasuk pembunuhan masal di Lacluta pada 1981 dan Kraras pada 1983, pembantaian di pekuburan Santa Cruz, dan puncaknya pada 1999.
Sejumlah kasus yang paling menonjol adalah pembantaian di gereja Liquica, pembunuhan warga Kailako di Bobonaro, penghadangan rombongan Manuel Gama, eksekusi penduduk sipil di Bobonaro, dan penyerangan rumah Manuel Carrascalao. Selain itu juga kerusuhan di Dili, penyerangan Diosis Dili, penyerangan rumah Uskup Belo, pembakaran rumah penduduk di Maliana, penyerangan kompleks gereja di Suai, pembunuhan di Polres Maliana dan pembunuhan wartawan Belanda, Sander Thoenes, serta pembunuhan rombongan rohaniawan di Lospalos (halaman xxii).
Buku ini merupakan pengalaman empiris penulis yang melihat sendiri aksi kekerasan yang dilakukan tentara Indonesia beserta milisi-milisinya. Nevins adalah saksi dari amuk dan kekacauan pada tahun 1999 yang berhasil melarikan diri, sehingga tiga tahun kemudian ia kembali ke Timor Timur untuk melihat keadaan negeri yang hancur di tangan TNI dan milisi itu.
Penulis menelusuri lorong-lorong, gang-gang dan jalanan sepanjang Timor Timur untuk merekam jejak pembantaian dan tragedi kemanusiaan yang melanda negeri itu. Di samping itu, ia juga mewawancarai orang-orang yang masih hidup setelah tragedi pembantaian, seperti Lilyana dan ibunya. Buku ini secara tajam mengupas keterlibatan negara dalam upaya pengerdilan sebuah bangsa. Hal ini akan menyakitkan bagi mereka yang terlibat, tetapi akan menyembuhkan peradaban.
Kejahatan yang dilakukan di Timor Timur bukanlah kejahatan yang biasa, tetapi kejahatan yang melibatkan seluruh umat manusia. Oleh karena itu, tidak menyelesaikan masalahnya berarti akan merusak upaya internasional untuk menuntut pertanggungjawaban dan mencegah kejahatan tersebut terulang lagi. Dalam hal ini, keadilan harus ditegakkan bukan hanya bagi rakyat Timor Timur, tetapi juga demi pemajuan hak asasi manusia dan hukum Indonesia dan seluruh dunia.
Tragedi pembantaian di Timor Timur merupakan bukti dari runtuhnya penegakan hak asasi manusia. Pembantaian itu adalah salah satu dari sekian banyak sejarah kelam kejahatan kemanusiaan yang terjadi di belahan dunia. Traumanya tidak akan terobati dengan sekadar jalinan persahabatan dan kasih.
Maka, apakah politik memang selalu jauh lebih utama daripada upaya pengungkapan kebenaran dan keadilan bagi para korban kejahatan kemanusiaan? Apakah nasib Timor Timur akan selamanya tragis dan mengenaskan? Sekarang saatnya bagi kita untuk mengingat dan membingkai apa yang terjadi di sana serta bagaimana implikasinya bagi keadilan, pertanggungjawaban dan hubungan internasional.

Pasca Gugurnya Munir – Tak Ada Kapitalisme Tanpa Pelanggaran HAM

Pasca Gugurnya Munir – Tak Ada Kapitalisme Tanpa Pelanggaran HAM

photo61635363051249110537 September 2004 silam Munir gugur. Bertahun-tahun telah berlalu semenjak Munir gugur diracun arsenik oleh tangan-tangan penguasa yang tidak ingin Munir dan gelombang perjuangan demokrasi terus menggoyangkan sistem penindasan. Selama bertahun-tahun itu pula, keadilan bagi Munir dan keluarga yang ditinggalkannya tak pernah benar-benar ditegakkan dan pelakunya masih bebas tak tersentuh hukum.
Selain kasus pembunuhan Munir masih terdapat banyak kasus pelanggaran HAM  lainnya di Indonesia yang belum tertuntaskan. Mulai dari  Peristiwa 65, Invasi dan pendudukan di Timor Leste sejak tahun 1974-1999, Penembakan Misterius tahun 1982-1985, Pembantaian Tanjung Priok tahun 1984, Pembantaian Talangsari tahun 1989, Penembakan Santa Cruz di Timor Leste tahun 1991, Berbagai Operasi Militer di Papua, Kerusuhan 27 Juli (Kudatuli) tahun 1996, Penculikan Penganiayaan dan Pembunuhan terhadap Wartawan Udin tahun 1996, Penculikan Aktivis Demokrasi tahun 1997-1998, Kerusuhan Mei, Pogrom, dan Pemerkosaan Massal terhadap Tionghoa-Indonesia tahun 1998, Penembakan Semanggi I tahun 1998 dan Penembakan Semanggi II tahun 1999, Penembakan Trisakti tahun 1998,  Penembakan Simpang KKA di Aceh tahun 1999, Pembantaian beutong Ateuh, Kasus Abepura tahun 2000 dan sebagainya. Pelanggaran HAM ini bersifat khusus bukan hanya karena para pelakunya tidak dihukum dan keadilan bagi korban belum ditegakkan namun karena semua pelanggaran-pelanggaran HAM tersebut memiliki pola melibatkan militerisme dan mengandung relasi kuasa penindasan.
Namun alih-alih penuntasan kasus-kasus pelanggaran HAM, rezim pemerintahan Jokowi-JK justru ditandai dengan meningkatnya intimidasi, represi, kriminalisasi, pemberangusan demokrasi, dan pelanggaran-pelanggaran HAM baru.  Ini semua menunjukkan bahwa janji penegakan HAM dan demokrasi yang diusung Jokowi-JK bukan hanya tidak terbukti namun malah menunjukkan hal sebaliknya. Jokowi yang dianggap akan memimpin perlindungan dan penegakan HAM malah menunjuk Hendropriyono sebagai penasihat Tim Transisi padahal Hendropriyono adalah terduga kuat otak pembunuhan Munir. Kontan ini memicu kritik keras dari Suciwati, Janda Munir dan para aktivis HAM lainnya.
Bagaimanapun berbagai manuver Jokowi-Jkini sesungguhnya tidak mengherankan. Bukan hanya karena keduanya tidak punya rekam jejak dalam perjuangan HAM dan demokrasi namun  juga karena formasi kelas dan politik di Joko Widodo (Jokowi)-Jusuf Kalla (JK) juga banyak menyertakan para pendukung rezim kediktatoran militer Orde Baru sekaligus para (terduga) pelanggar HAM. Mulai dari Wiranto yang bermasalah dengan kasus penembakan Trisakti Kerusuhan Mei 1998, penembakan Semanggi I dan II, serta pembantaian di Timor Leste. Selain itu juga Sutiyoso, terduga kuat bertanggungjawab atas pembunuhan lima wartawan luar negeri di Timor Leste pada 1975 serta terduga kuat sebagai otakdi balik kasus Kerusuhan 27 Juli 1996. Bahkan JK sendiri yang menyatakan kasus Munir sudah selesai juga bagian Orba dan pendukung ormas preman Pemuda Pancasila.
Merespon soal kasus Munir, John Kerry, Menlu AS di masa rezim Obama pernah mendesak penegakan kasus Munir dan mengatakan “Amerika bersama rakyat Indonesia memperingati warisan Munir dan kami menyerukan perlindungan bagi semua pihak yang bekerja demi perdamaian, demokrasi, dan HAM di seluruh dunia.” Namun ini hanya kemunafikan borjuasi. AS adalah Imperialis yang rakus perang, pemberangus hak-hak demokrasi, dan biang pelangaran HAM. Chelsea Manning dipenjara karena merilis video pembantaian rakyat Irak oleh tentara AS, Edward Snowden diburu karena membocorkan AS menyadap rakyatnya, perlakuan aparat penjara Abu Ghraib, bahkan AS dibangun dengan pembantaian atas Indian/Pribumi Amerika.
Semua ini menegaskan bahwa tak ada kapitalisme tanpa represi dan intimidasi. Karena kapitalisme sebagai sistem penindasan tidak hanya berkuasa melalui hegemoni namun juga kekerasan. Karena itu perjuangan HAM tidak terpisahkan dari perjuangan melawan kapitalisme

Tak Ada Jaminan Hidup Bagi Orang Papua Dalam Bingkai NKRI


Kehadiran eksploitasioan Freeport telah banyak memberikan dampak buruk bagi Rakyat West Papua, khususnya suku Amungme dan Kamoro yang berhubungan langsung dengan dampak dari limbah, kerusakan alam, juga mengakibarkan kondisi kesehatan yang buruk dan konflik-konflik horizontal yang dimenajemenkan oleh aparatur negara/sekuriti perusahaan. Keberadaan sosial suku Amungme dan Kamoro, hal yang sama juga di hadapi oleh masyarakat yang berada di daerah dimana perusahaan nasional dan multi nasional berada, dan wilayah strategis kepentingan kapital negara dan borjuasi; Infrastruktur jalan, pembangunan kota, dan sebagainya. Hal ini mencerminkan keberadaan sosial yang sangat krusial dan memprihatinkan. Mencerminkan Hak hidup orang Papua yang sangat tidak dihargai. 

Hal mengesampingkan dan tidak menghargai hak hidup orang Papua, ini bukan saja baru terjadi. Catatan terpenting Papua diduduki rezim kolonial Indonesia demi mengamankan komoditi bahan mentah produksi manufaktur; komoditi kapital; kepentingan ekonomi politik negera-negara kapitalis tentunya. Salah satunya, yang kita kenal saat ini adalah perusahaan raksasa dunia, milik imperialis Amerika Serikat.

Freeport sudah beroperasi di West Papua 1963 secara ilegal. Sehingga invasi 1962 setelah Komando Trikora memerintahkan untuk menduduki West Papua dengan dalih wilayah jajahan hindia belanda. Ekspansi Indonesia dengan cara militeristik membuka jalan mengamankan akses kepentingan AS dan Indonesia di West Papua itu. selanjutnya, terjadi pembataian, pembunuhan terhadap orang-orang papua oleh militer Indonesia melalui operasi-operasi militeristik yang di gancarkan; juga diiringi dengan terjadinya pembantaian orang-orang Indonesia di Jawa pasca 1965-1966—mereka adalah kaum yang anti terhadap Imperialisme. Rejim kekuasaan (Indonesia) berpindah tangan Soeharto, Undang-Undang Modal Asing diterbitkan sehingga Freeport yang illegal itu, pada 7 April 1969 sah memiliki dasar legal konstitusi Indonesia. Kedatipun status politik west papua masih menjadi perdebatan, dan orang-orang Papua tak pernah dilibatkan dalam perdebatan-perdebatan hingga kesepakatan-kesepakatan itu. Itu lah politik rasisme yang digunakan oleh Amerika dan Indonesia untuk meloloskan kepentingan kekuasaannya diatas tanah Papua, dan jaminan kekuatan militer di Papua untuk langgengi akses modalnya.

Kini, 51 tahun usia Freeport mengkeruk emas, tembaga, tima, batu bara, mineral di west Papua. Sekian tahun telah berlalu, Freeport hanya memberikan dampak buruk bagi kelangsungan hidup bagi bangsa West Papua. Dampaknya tidak hanya datang dari kerusahkan lingkungan saja. Tapi penjajahan yang masih masif dilakukan oleh aparatur (Negara) Ideologis: Hukum dan Pengadilan, UU dan Parlementer, Pendidikan dan Budaya; dan juga oleh aparatur reaksioner: Militer organik maunpun non Organik. Penjajahan itu terjadi beriringan dengan pendudukan PT.FI di West Papua.

Dari Rezim Soekarno-Hatta hingga Jokowi-Jusuf Kala, tak ada bedanya. Kehadiran Sistim Negara Kolonial Indonesia (baca: Indonesia) di tanah Papua terus memperbaharusi tatanan penjajahan, dan cara-cara pendekatan sosial Papua yang sangat meperbudak secara halus. Kebijakan-kebijakan rezim dari periode ke periode lain orintasinya sama harta dan kekuasaan pribadi. 

Rezim Soeharta yang berwajah otoriter dan selalu mendekati rakyat dengan tangan besi itu telah berhasil melancarkan berbagai rangkaian operas-operasi militer, yang dimulai sejak Operasi Trikora (1961) yang dikomandoi oleh Soeharta—dan setelah kekuasaan jatuh ke tangannya—hingga 1998, tragedi Biak Berdarah disertai penangkapan tokoh-tokoh politik, Pembunuhan, penyiksaan, pemerkosaan, dan banyak macam khasus yang hingga sampai saat ini belum diungkapkan.
Selanjutnya, Rejim Gurdur. Walau singkat Ia menjabat di kursi kepemimpinan Negara Indonesia, tetap Ia melahirkan prodak penjajahan, yang bernama Otonomi Khusus (Baca: Otsus) untuk West Papua. Diberikan Otsus dengan label separatis dan menjaga eksistensi kesatuan Negara yang—katanya—plural ini. Dampak dari Otsus, terjadi pemekaran Provinci Papua dan Papua Barat (2004). Disusul lagi dengan pemekaran Kabupaten baru, Kecamatan baru, Desa hingga RT, RW yang sebetulnya adalah tidak memenuhi syarat jumlah orang papua yang siap menduduki. Maka strategi selanjutnya adalah diberlakukan trasmingrasi besar-besaran ke West Papua untuk menduduki di setiap pemekaran dan untuk menguasai tanah-tanah kosong, juga untuk kemudian yang terjadi hari ini adalah buruh-buruh sawit, buruh perusahaan minyak di Sorong, Gas di Bintuni dan Freeport hingga pasar, usaha-usaha Ekomoni miko dan makro dikuasai oleh orang-orang transmigrasi.

Setiap sektor kehidupan didominasi oleh orang-orang transmigrasi yang sebetulnya mereka diusir dari Pulau luar Papua untuk kepentingan investasi dan menguasai tanah-tanahnya. Mereka dikirim ke Papua atas nama Ideologi NKRI harga mati, dan mengembalikan Papua ke Ibu Pertiwi. Maka kuasai lah semua lini sektor kehidupan. Orang Papua hanya menjadi penonton diatas tanahnya sendiri, akibat, salah satunya adalah tidak diberdayakan, atau tidak diberikan kesempatan mengekpresikan kepapuaan.

Indonesia menguasai di West Papua tidak hanya dengan tindakan fisik, tetapi juga hegemoninya. Suprastruktur Negara Indonesia dibangun di Papua untuk mengindonesiakan orang-orang Papua. Mulai dari penerapan kurikulum pendidikan di West Papua, tentu Jawa Sentris. Diatas itu propagandan Hegemoni kolonialisme tuannya Imperialisme sangat masif dilakukan—bentuklah kesadaran sosial oleh hegemoni dan suprastruktur Negara. Indonesia membangun perkembangan generasi Papua ini justru jauh dari alam yang seharusnya mereka berdialektika. Itu yang disebut Program Gusdur yang menolak Refremdum. Otonomi Khusus lah menjadi jawaban (penyelesaian), bagi Gusdur, untuk persoalan Anesasi West Papua.

Dampak dari Otomoni khusus, tanpa memberdayakan orang Papua dalam hal pengetahuan dan ketrampilan, dibanjirkan lah Uang dalam Prodak PNPM Mandiri, RESPEK, 1 Miliyar Dana Pembangunan Desa; dan Beras ke pelosok perkampungan dalam prodak JPS, BULOG. Hingga sampai saat ini, rakyat West Papua dibuat ketergantungan diatas negerinya sendiri.

Pada Rezim Susilo Bambang Yodoyono dan Boediono—pendekatan yang dilakukan pada rakyat West Papua adalah pertama barbarisme. Dibuka pengiriman minuman keras ke Papua, berlabel khusus untuk Irian Jaya. Diberdagang secara terbuka dan legal, bebas konsumsi bagi siapa pun. Dibuka Postitusi dimana-mana secara legal. Dan kesimpulannya, hancurlah sudah generasi West Papua. Kemudian meningkat pula penderita Virus/penyakit HIV/AIDS di West Papua. Angka kematian meingkat drastis, menurut setiap data statistik. Dipropaganda kebudayaan orang Papua adalah “mabuk” (mengonsumsi minuman keras). Lalu pendekatan aparatur kepada para pemabuk dilakukan dengan cara menghakimi, pengejaran, penangkapan, dan trakhir hanya ada di dua tempat bagi mereka: kuburan atau penjarah.

Kemudian, pada periode Rezim Jokowi Dodo dan Jusuf kala—rezim yang diagung-agungkan oleh publik tentang Jokowi yang dermawan, Jokowi yang merakyat dan penduli terhadap keberadaan sosial yang sangat prihatin, adalah omongan yang penuh tipu. Dibalik semua itu, banyak pertumpahan darah yang terjadi di West Papua. Tak ada bedanya dengan rezim-rezim sebelumya. Lebih kejam dari Rezim Sorharto dan Gusdur.

Dibuka bebas berinvestasi di West Papua, tanah Papua diduduki Sawit dimana-mana. Perusahaan masuk menduduki seluruh dataran wilayah West Papua dan menggeserkan, lalu mengasingkan orang-orang West Papua dari buminya. Membangun infrastruktur dan pembangunan kota untuk kepentingan akses hasil eksploitasian untuk dibawa pergi keluar Papua. Rakyat Papua hanya mendapatkan tangisan, pembunuhan, penangkapan, pemerkosaan, intimidasi, diskriminasi, dan tindakan-tindakan militeristik dan rasialisme.
Atas sifat Indonesia yang menunjukan sikap superioer, dan menjajah di west Papua, telah membuktikan bahwasannya populasi orang Papua hanya 42,24% : 1.961.000 juta jiwa orang papua dari keseluruhan manusia yang ada di Papua: 4.642.000  juta jiwa. Sisahnya: 2.681.000 (57,76%) Juta jiwa adalah aparat militer dan non Papua (Hasil Penelitian International Coalition for Papua : 2015. Hal 80). Kemudian dari Jumlah populasi orang Papua diatas, sebanyak 7.146 orang terkena virus HIV Positif dan yang penderita AIDS: 78,292 orang Papua (Data Laporan Kementerian RI: 2016). Dan untuk mereka (penderita) tidak ada obat penyembuh bagi penderita. Rumah sakit tidak ada di pelosok perkampungan. Diperkotaan yang ada rumah sakit, tapi tak ada sarana prasarana karena dokter buka tempat praktek dan apotik pribadi untuk memupuk kapial.

Hal lain adalah, aspirasi rakyat west Papua untuk menentukan nasip sendiri bagi orang Papua—yang juga menjadi tanggungjawab Konstitusi Indonesia itu—hakikadnya adalah mencari kondisi objektif yang baru dari realitas ditas ini: Bebbas dari slow Genosida; dari penjajahan; dari pengrusakan dan pengerukan sumber hidup manusia Papua

Kendati realitasnya demikian, orang-orang West Papua diharuskan (dipaksakan) untuk menuruti kemauan Indonesia. Program Keluarga Berencana (KB) dikampanye ke Pelosok-pelosok, lewat panggung gereja-gereja, sekolah-sekolah, balai-balai kesehatan Masyarakat. Hal itu diharuskan dengan dalil mengurangi derasnya angka kelahiran penduduk Indonesia. Hal lain adalah Tanah adat dirampas dengan dalil tanah milik negara. Untuk memudahkan—legalisasi—transaksi tanah, Indonesia menerapkan tanah sertifikasi di West Papua. Itu yang terjadi di West Papua. Indonesia menanamkan (menyebarluaskan) budaya, Ideologi, filsafat, ide, nilai, dan norma lewat Ilmu Pengetahun, lalu disebarluaskan ke seluruh tempat dimana orang papua mendapatkan akses ilmu pengetahuan. Mereka menyuntik ajaran-ajaran mistis lewat propaganda-propaganda untuk mengontrok fikiran masyarakat dengan hegemoninya.

Kemudian, karena atas kampanye pelanggaran Hak Asasi Manusia Papua yang mendunia atas tindakan kolonialis Indonesia, stigma separatisme, makar, teorisme—setelah dunia Internasional mengakui Terorisme dan separatisme adalah musuh Negara dan Dunia Internasional—menjadi dalil perlakuan Indonesia terhadap orang-orang West Papua. Gerakan perlawanan rakyat, diterima dengan moncong senjatah. Hal itu, menurut saya, tidak hanya sebatas meredam gerakan rakyat. Sebab tindakan represi terhadap gerakan rakyat, itu sering memakan korban. Selain itu juga, kejadian-kejadian serupa kanibal pun terjadi di West Papua. Masifnya pembunuhan terhadap manusia Papua pada malam hari. Sering ditemukan dimana-mana tubuh manusia Papua dalam kondisi tak bernyawa.

Kini, Indonesia mengupayakan untuk meminimalisir tindakan pelanggaran Hak Asasi Manusia oleh Negara melalui aparaturnya. Maka bentuklah gerakan-gerakan sosial yang kontak terhadap gerakan rakyat Papua Barat. Konfilk-konfilk hisrisontal pun terus terjadi dan memakan korban dalam jumlah yang banyak. Kemudiaan berkembangnya gerakan-gerakan fumdamentalis Kristen dan ormas reaksioner di West Papua: Barisan Merah Putih, Pemuda Pancasila, Pemuda Adat Papua Indonesia, dan banyak unsur kelompok reaksioner yang sebetulnya, motif tindakan mereka adalah sangat reaksioner dan sangat kontra terhadap Persoalan Kemanusiaan yang diperjuangkan oleh Rakyat Barat. Kaum reaksioer yang rasis itu lahir dari gagasan-gagasan Militerisme. Militerisme sendiri punya hubungan langsung dengan kolonialisme di West Papua. Dan tindakan kolonisasi itu dilakukan oleh kapitalis Internasonal dan kapitalis birokrat yang memegang kendali bangunan Suprastruktur Negara. 

Bermunculan kelompok reaksioner ini sejalan tindakan militeristiknya serta setiap kebijakan program Jakarta di Papua yang mengikuti irama penjajahan dan terhadap gerakan West Papua yang sedang berapi-api memperjuangkan Hak Penentuan Nasip Sendiri bagi Bangsa West Papua, yang dalilnya adalah bebas dari kolonisasi Indonesia dan cengkraman Imperialisme Global. Sebab keberadaan sosial didalam kerangka NKRI tidak menjamin Hak Asasi Manusia Papua, dan justru membukan keran pemusnahan bagi ras Papua, ekologi, serta pengancuran alam Papua.

Che Guevara

Seperti di Abu Dis, mural Che tergambar di tembok yang memisahkan Palestina dengan wilayah Yerussalem Timur yang diklaim oleh Israel.
Bagaimana Che begitu berkesan di Palestina?
Tahun 1959, hanya 4 bulan setelah Revolusi Kuba, tepatnya 18 Juni 1959, Che dan Raul Castro mengunjungi Jalur Gaza. Di sana dia bertemu dengan beberapa tokoh pejuang Palestina. Diantaranya Abdullah Abu Sitta, pemimpin Fedayeen.
Tidak hanya itu, Che juga mengunjungi beberapa kamp pengungsi Palestina. Konon dia disambut dengan nyanyian-nyanyian Revolusi Kuba. Di sana dia menyaksikan kemiskinan dan kesulitan hidup rakyat Palestina yang terusir dari tanah dan rumahnya.
Saat kunjungan singkat itu, Che sempat berbagai pengalaman dan strategi perjuangan dengan pejuang-pejuang Palestina. Konon, dia juga menjanjikan bantuan senjata bagi pejuang-pejuang Palestina yang disebut “Fedayeen”.
Tak lama setelah kunjungan itu, dukungan Kuba terhadap Palestina meningkat. Sejumlah mahasiswa Palestina mendapat kesempatan belajar di Kuba. Tidak hanya itu, Kuba makin nyaring membawa isu Palestina di forum-forum internasional.
Tahun 1966, di Konferensi Tiga Benua di Havana, yang melibatkan negara-negara Asia, Afrika dan Amerika Latin-Karibia, Fidel Castro menyerukan solidaritas dan sebuah konferensi khusus untuk membantu rakyat Palestina.
Di tahun awal 1960-an, Kuba punya andil dalam membantu lahirnya organisasi perlawanan Palestina, termasuk Gerakan Pembebasan Nasional Palestina (FATAH). Beberapa pejuang FATAH mendapat pendidikan politik dan militer dari Kuba.
Kemudian, pada 1964, Kuba juga menyokong pendirian organisasi payung, Organisasi Pembebasan Palestina (PLO). Tidak hanya itu, Kuba membuka jalur diplomatik dengan para pemimpin PLO, termasuk Yasser Arafat. Dan sepuluh tahun kemudian, Arafat berkunjung ke Havana, Kuba.

Di tahun 1967, berdirilah organisasi politik berhaluan marxis, yakni Front Rakyat untuk Pembebasan Palestina (PFLP). Organisasi yang didirikan oleh George Habash ini malah menjadikan Che sebagai salah rujukan pemikiran dan strategi perjuangannya.
Tahun 1973, setelah perang Ramadan antara koalisi Arab dan Israel, Kuba memutus hubungan diplomatik dengan Israel. Tak lama kemudian, kedutaan Palestina dibuka di Havana.
Tahun 1975, Kuba menjadi satu-satunya negara Amerika latin yang menyokong resolusi PBB nomor 3379, yang menyebut zionisme sebagai bentuk rasisme dan diskriminasi rasial. Juga mengakui PLO sebagai “peninjau” di PBB.
Di Palestina sendiri, api perjuangan Che menginspirasi pejuang-pejuang Palestina. Di Gaza, muncul grup bersenjata yang berafiliasi di bawah PLPF, yakni Unit Komando Che Guavara atau Brigade Che Guevara.
Shadia Abu Ghazaleh, perempuan Palestina pertama yang menjadi martir dalam perjuangan bersenjata di tahun 1968, adalah anggota dari grup ini. Shadia sendiri sangat terpengaruh oleh pikiran-pikiran Che, terutama soal keharusan perjuangan bersenjata dalam pembebasan Palestina.
Selain itu, seorang aktivis PFLP yang memimpin perlawanan di Jalur Gaza, Mohammad al-Aswad, sering disebut sebagai “Guevara Gaza”, karena keberaniannya dalam berbagai pertempuran dengan militer Israel. Dia gugur dalam sebuah pertempuaran sengit di tahun 1973.
Hingga hari ini, Che masih menjadi salah satu suluh untuk perjuangan pembebasan Palestina. Banyak organisasi pembebasan palestina, terutama PFLP, DFLP (Front Demokratik untuk Pembebasan Palestina), dan Partai Rakyat Palestina, selalu memperingati hari tertangkapnya Che di Bolivia, 8 Oktober, sebagai “Hari Pahlawan Gerilya”.
“Di Palestina, spirit Che Guevara, tekadnya untuk pembebasan, bangkit di jalan-jalan tanah yang terduduki,” tulis PFLP dalam siaran pers memperingati Hari Pahlawan Gerilya.
Dan hari ini, gambar Che Guevara dalam balutan kaffiyeh—kain syal bermotif kotak-kotak dan dipakai sebagai penutup kepala—di lehernya dan dengan mengangkat dua jari membentuk huruf “V”, disertai tulisan “Palestine Libre”, akrab di kaos-kaos pemuda Palestina.
“Dia bukan model untuk semua Palestina. Yang paling mengaguminya banyakan orang-orang kiri. Tetapi kami yang berjuang dalam intifada terinspirasi olehnya. Ia ada dalam perjuangan dan setiap kami,” kata Abu Nada, seorang pemuda Palestina, seperti dikutip gulfnews.com.

Memang tidak semua pejuang Palestina terinspirasi oleh Che Guevara. Tetapi dia adalah tokoh nan jauh dari luar Palestina, dari belahan dunia Amerika Latin sana, yang hadir menyemangati perjuangan rakyat Palestina.

Arsip Blog