Jumat, 09 Agustus 2019

15 NEGARA PERNAH MENOLAK HASIL PEPERA 1969 DALAM SIDANG UMUM PBB

WEST PAPUA:

15 NEGARA PERNAH MENOLAK HASIL PEPERA 1969 DALAM SIDANG UMUM PBB

Oleh Gembala Dr. Socratez S.Yoman

1. Pendahuluan

Proses pengintegrasian West Papua ke dalam wilayah Indonesia melalui cara-cara yang tidak beradab. Pemaksaan dengan kekerasan militer menjadi pilihan waktu Pepera 1969. Karena itu, hampir dari 15 Negara dari kawasan Afrika dan Karabia telah menolak hasil Pepera 1969 dalam Sidang Umum PBB. Akhirnya, hasil Pepera 1969 tidak disahkan, tetapi hanya dicatat "take note" karena hasil Pepera 1969 cacat hukum, moral dan melawan hukum internasional dan Perjanjian New York 15 Agustus 1962.

2. Bukti-bukti Penolakan

Duta Besar Perwakilan tetap Pemerintah Gana di PBB, Mr. Akwei melawan dan menolak dengan tegas hasil Pepera 1969 yang palsu dan cacat hukum.

"...yang dilaporkan Sekretaris Jenderal PBB bahwa bukti-bukti peristiwa keputusan pelaksanaan pemilihan bebas adalah fenomena asing, dimana Menteri Dalam Negeri naik mimbar dan benar-benar kampanye. Dia, Menteri Dalam Negeri Indonesia, dia meminta anggota-anggota dewan musyawarah untuk menentukan masa depan mereka dengan mengajak bahwa mereka satu ideologi, Pancasila, satu bendera, satu pemerintah, satu Negara dari Sabang sampai Merauke."  (Sumber: Dokumen PBB A/7723, Annex 1, paragraf 195).

Sementara delegasi Pemerintah Gabon, Mr. Davin dalam perlawanan dan penolakannya dengan tegas mengatakan ketidakjujuran dan penipuan pemerintah Indonesia terhadap rakyat dan bangsa West Papua dalam pelaksanaan Pepera 1969 di West Papua sebagai berikut.

"Setelah kami mempelajari laporan ini, utusan pemerintah Gabon menemukan hal-hal aneh dan kebingungan yang luar biasa, itu sangat sulit bagi kami untuk menyatakan pendapat kami tentang metode dan prosedur yang dipakai untuk musyawarah rakyat Irian Barat. Kami dibingungkan luar biasa dengan keberatan-keberatan yang dirumuskan oleh Mr. Ortiz Sanz dalam kata-kata terakhir pada penutupan laporannya. Berkenaan dengan metode-metode dan prosedur-prosedur ini, jika utusan saya berpikir perlunya untuk menyampaikan pertanyaan mendasar, itu dengan pasti menarik perhatian peserta Sidang untuk memastikan aspek-aspek yang ada, untuk menyatakan setidak-tidaknya kebingungan yang luar biasa. Kami harus menanyakan  kekejutan kami dan permintaan penjelasan tentang sejumah bukti-bukti yang disampaikan dalam laporan perwakilan Sekretaris Jenderal PBB.

Contoh: Kami bertanya:

(1) Mengapa sangat banyak jumlah mayoritas wakil-wakil diangkat dan dipilih oleh pemerintah dan tidak dipilih oleh rakyat?

(2) Mengapa pengamat PBB dapat hadir dalam pemilihan hanya 20% wakil, beberapa dari mereka bertugas  hanya sebentar?

(3) Mengapa pertemuan konsultasi dikepalai oleh gubernur; dengan kata lain, oleh perwakilan pemerintah?

(4) Mengapa hanya organisasi pemerintah dan bukan gerakan oposisi dapat hadir sebagai calon?

(5) Mengapa prinsip "one man one vote" yang direkomendasikan oleh perwakilan Sekretaris Jenderal PBB tidak dilaksanakan?

(6) Mengapa tidak ada perwakilan rahasia, tetapi musyawarah terbuka yang dihadiri pemerintah dan militer?

(7) Mengapa para menteri dengan sengaja hadir dan mempengaruhi wakil-wakil  (anggota Pepera) di depan umum dengan menyampaikan bahwa, " hanya hak menjawab atas pertanyaan untuk mengumumkan bahwa mereka berkeinginan tinggal dengan Indonesia?

(8) Mengapa hak-hak pengakuan dalam Pasal XXII (22) Perjanjian New York 15 Agustus 1962, yang berhubungan dengan kebebasan menyatakan pendapat; berserikat dan berkumpul tidak dinikmati oleh seluruh Penduduk Asli Papua?
(Sumber: United Nations Official Records: 1812th Plenary Meeting of the UN General Assembly, Agenda item 108, 20 November 1969, paragraph 11, p. 42).

Doa dan harapan saya, tulisan singkat ini menambah wawasan tentang akar persoalan penderitaan rakyat dan bangsa West Papua.

Ita Wakhu Purom, 10 Desember 2019.

Jumat, 02 Agustus 2019

JANGAN TAKUT KEPADA MEREKA, ANDA KEPALA SUKU BESAR DAN PEMILIK SAH TANAH INI

WEST PAPUA:

JANGAN TAKUT KEPADA MEREKA, ANDA KEPALA SUKU BESAR DAN PEMILIK SAH TANAH INI

Oleh Gembala Dr. Socratez S. Yoman

1. Pendahuluan

Topik ini saya mau tunjukan dan  membagikan kepada Anda semua, terutama Penduduk Orang Asli Papua. Karena Anda semua sudah berada dalam penjara demam ketakutan. Anda sudah menjadi seperti orang pendatang, tidak berdaya dan sudah kehilangan pijakan dan dengan mudah diatur oleh penguasa Indonesia yang secara ilegal menduduki dan menjajah rakyat Melanesia di West Papua.

Pada 17 Februari 2019 jam 22.00 malam telepon saya berdering. Nama yang muncul adik Pendeta Esmond Walilo dari Wamena. Pendeta Esmond sampaikan:

EW:  " Selamat malam kaka Yoman. Maaf, adik mengganggu jauh malam."

SSY: "Selamat malam adik Esmond. Bagaimana  adik?"

EW : "Kaka Yoman, saya dengar pak Dandim dan Kapolres Jayawijaya melarang Delegasi Dewan Gereja Dunia (WCC) ke Sinakma untuk melihat anak-anak pengungsi dari Nduga yang sedang belajar di Sekolah Darurat."

SSY: "Adik Esmond, JANGAN TAKUT KEPADA MEREKA, ANDA KEPALA SUKU BESAR DAN PEMILIK SAH TANAH WAMENA, WEST PAPUA."

Pendeta Dorman Wandikbo Presiden GIDI dan Pdt. Yahya Lagowan mewakili Pdt. Dr. Benny Giay dan saya  tiba pagi hari pada 18 Februari 2019 bersama Rombongan Delegasi Dewan Gereja Dunia. Kami bertiga Kepala Suku Besar dan Pemilik Sah Tanah Wamena, West Papua ini. Tidak ada yang perlu kita takuti dan tunduk. Kita sebuah bangsa yang bermartabat. Kami bukan bangsa budak dari para pendatang Indonesia di Tanah dan Negeri kami ini. Kami lebih berhak atas Tanah pusaka kami. Singkirkan dan kuburkan roh ketakutan. Bebaskan dirimu dari penjara ketakutan. Tidak benar dan tidak betul,  kalau Tuan Rumah takut pada tamu/pendatang."

2. Kami Dilarang Ikut Delegasi WCC untuk pertemuan dengan bupati, Dandim dan Kapolres

Ketua Klasis GKI Balim-Yalimo sampaikan pesan bupati kepada kami.

"Bapak-bapak minta maaf, dari staf bupati sampaikan bahwa pak Yoman, pak pdt. Dorman dan pdt. Yahya dilarang ikut delegasi ke kantor bupati untuk pertemuan dengan bupati, Dandim dan Kapolres."

Saya sampaikan kepada Ketua Klasis GKI Balim-Yalimo. Pak Ketua sampaikan kepada mereka bahwa Delegasi WCC adalah tamu kami (tamu Gereja), maka tetap dampingi mereka. Kami tidak berbicara, yang berhak berbicara kepada bupati adalah Delegasi WCC."

Akhir dari pertemuan antara bupati dengan Delegasi WCC di kantor bupati, pak Dandim Wamena bertanya kepada Delegasi WCC.

"Bapak-bapak dan ibu-ibu, saya perlu tahu schedule/jadwal Delegasi WCC setelah pertemuan ini kemana lagi?"

Saya sampaikan adik  Pendeta Dora Balubun untuk menjawab pertanyaan pak Dandim Jayawijaya. Ibu Pendeta Dora menjawab:

"Dari sini kami putar-putar di Wamena kota dan kembali ke kantor Klasis untuk pertemuan dan makan siang."

3. Rombongan Delegasi WCC ke Sinakma

Sesudah pertemuan delegasi dengan bupati kami keluar. Saya sampaikan adik Rosa Mawen dan Pdt Dora Balubun dan Pdt. Desmond kita ke Sinakma untuk melihat anak-anak pengungsi Nduga yang sekolah di tempat darurat.

Puji Tuhan. Kuasa Tuhan nyata dalam penderitaan umat Tuhan di Tanah ini. Para anggota Delegasi WCC mendengar langsung dari anak-anak pengungsi Nduga akibat Operasi Militer. 

Anggota TNI-Polri yang bekerja sebagai intel hampir 10 orang datang dengan motor di Sinakma. Mereka rekam semua pembicaraan anak-anak pengungsi dan Delegasi WCC dan mengambil foto  menggunakan handphone. Kami hargai mereka karena itu tugas dan pekerjaan mereka.

Saya tanya anggota intel. "Adik-adik kamu dari kesatuan mana? Namamu siapa? Kamu orang apa? Kamu darimana? Kamu harus kerja baik dan benar ya."

4. Saya Berasal dari Bangsa Merdeka dan Berdaulat Sebelum Indonesia Menjajah Kami.

Saya heran dan tidak habis pikir dan juga tidak masuk akal sehat saya. Mengapa? Karena Orang Asli Papua sebagai pemilik Tanah West Papua dari Sorong-Merauke takut kepada penguasa Indonesia sebagai tamu yang menduduki, menjajah, menjarah, merampok dan membunuh kami seenak hati dan semau mereka. Sesungguhnya Orang Asli Papua yang sudah punya pendidikan HARUS sadar keadaan tidak normal yang dialami rakyat dan bangsa West Papua. Kalau kesadaran Anda sudah dilumpuhkan maka Anda menjadi budak-budak kolonial Firaun moderen Indonesia. Sudah saatnya, Anda Sadar, Bangkit dan Lawan.

Mengapa saya katakan dari bangsa yang merdeka dan berdaulat sebelum kolonial Indonesia menduduki dan menjajah kami?

Kata " Ap Lani"  memiliki  arti yang lebih dalam, yaitu  Orang-orang Otonom, mandiri, independen dan berdaulat penuh.

Dalam buku: Kita Meminum Air Dari Sumur Kita Sendiri" (Yoman, 2010, hal. 92) penulis menjelaskan sebagai berikut:

Kata Lani itu artinya: " orang-orang independen, orang-orang yang memiliki otonomi luas, orang-orang yang merdeka, yang tidak diatur oleh siapapun. Mereka adalah orang-orang yang selalu hidup dalam kesadaran tinggi bahwa mereka memiliki kehidupan, mereka mempunyai bahasa, mereka mempunyai sejarah, mereka mempunyai tanah, mereka mempunyai gunung, mereka mempunyai hutan, mereka mempunyai sungai, mereka mempunyai dusun yang jelas, mereka mempunyai garis keturunan yang jelas, mereka mempunyai kepercayaan yang jelas, mereka mempunyai kemampuan untuk mengatur, dan mengurus apa saja, mereka tidak pernah pindah-pindah tempat, mereka hidup tertib dan teratur, mereka mempunyai segala-galanya."

Contoh:  Orang Lani mampu dan sanggup membangun rumah (honai) dengan kualitas bahan bangunan yang baik dan bertahan lama untuk jangka waktu bertahun-tahun. Rumah/honai itu dibangun di tempat yang aman dan di atas tanah yang kuat. Sebelum membangun honai, lebih dulu dicermati dan diteliti oleh orang Lani ialah mereka melakukan studi dampak lingkungan. Itu sudah terbukti bahwa rumah-rumah orang-orang Lani di pegunungan jarang bahkan tidak pernah longsor dan tertimbun tanah.

Contoh lain ialah orang Lani membangun dan membuat pagar kebun dan  honai/rumah dengan bahan-bahan bangunan yang berkualitas baik.  Kayu dan tali biasanya bahan-bahan khusus yang kuat supaya pagar itu berdiri kokoh  untuk melindungi rumah dan juga kebun.

Orang Lani juga berkebun secara teratur di tanah yang baik dan subur untuk menanam ubi-ubian dan sayur-sayuran.

Dr. George Junus Aditjondro mengakui: "...para petani di Lembah Baliem misalnya, memiliki budaya pertanian ubi-ubian yang tergolong paling canggih di dunia, hasil inovasi dan adaptasi selama 400 tahun tanpa bantuan sepotong logam" (Cahaya Bintang Kejora, 2000, hal. 50).

Suku Lani juga dengan kreatif menciptakan api. Suku Lani dengan cerdas dan inovatif membuat jembatan gantung permanen. Para wanita Lani juga dengan keahlian dan kepandaian membuat noken untuk membesarkan anak-anak dan juga mengisi bahan makanan dan kebutuhan lain. 

Yang jelas dan pasti, suku Lani ialah bangsa yang bedaulat penuh dari turun-temurun dan tidak pernah diduduki dan diatur oleh suku lain. Tidak ada orang asing yang mengajarkan untuk melakukan dan mengerjakan yang sudah disebutkan tadi. Suku Lani adalah bangsa mempunyai kehidupan dan mempunyai segala-galanya.

Dari uraian singkat ini memberikan gambaran yang jelas bahwa pada prinsipnya orang Lani itu memiliki identitas yang jelas dan memelihara warisan leluhur dengan  berkuasa dan berdaulat penuh sejak turun-temurun.

Orang Lani juga mempunyai norma dan  tingkatan  dalam penggunaan dan pemanggilan nama orang.  Contoh:

Panggilan terhormat bagi orang berbadan tinggi ialah Owakelu. Owakelu ada dua kata: Owak dan Elu. Owak artinya tulang dan Elu artinya tinggi. Jadi tidak bisa disebut orang tulang tinggi.

Panggilan terhormat bagi orang badan besar ialah anugun nggok. Anugun artinya perut. Nggok artinya besar. Jadi bukan orang perut besar.
Dalam suku Lani ada panggilan orang-orang terpandang dan pemimpin yang dihormati dan didengarkan.

Ndumma artinya pemimpin pembawa damai, pembawa kesejukan dan ketenangan, pelindung dan penjaga rakyat. Ndumma itu gelar tertinggi dan terhormat dalam suku Lani. Suara Ndumma tidak biasa dilawan oleh rakyat karena ada nilai-nilai kebenaran, keadilan, kasih, kedamaian dan pengharapan.

Ap Nagawan, Ap Wakangger, Ap Nggok, Ap Nggain, Ap Akumi Inogoba.

Ini semua pangkat dan sebutan orang-orang besar dan pemimpin yang digunakan dalam bahasa Lani. Semua pemimpin ini suara dan perintahnya selalu dipatuhi dan dilaksanakan karena ada wibawa dalam kata-kata. Mereka semua pelindung dan penjaga rakyat.

Harapan dan doa saya bahwa sudah saatnya kita sadar dan bangkit untuk menulis tentang siapa diri kita. Orang asing sudah banyak menulis dengan cara pandang mereka tentang kita untuk mereka mendapat gelar, polularitas, dan uang. Kita hargai karya mereka. Sekarang sudah waktunya kita menulis tentangi bangsa di planet ini.

Doa dan harapan saya, tulisan ini menjadi cahaya lilin kecil yang menerangi hati dan pikiran yang sudah dilumpuhkan dan  digelapkan penguasa kolonial Indonesia.

Waa...kainaok o nore nawot.

Ita Wakhu Purom, Jumat 21 Juni  2019

KEYAKINAN IMAN SAYA BAHWA RAKYAT DAN BANGSA WEST PAPUA PASTI MERDEKA SEBAGAI BANGSA BERDAULAT PENUH DI ATAS TANAH LELUHUR MEREKA

WEST PAPUA:

KEYAKINAN IMAN SAYA BAHWA  RAKYAT DAN BANGSA WEST PAPUA PASTI MERDEKA  SEBAGAI BANGSA BERDAULAT PENUH DI ATAS TANAH LELUHUR MEREKA

Oleh Gembala Dr. Socratez S.Yoman

1. Pendahuluan

Alasan dan dasar apa saya mempunyai keyakinan kokoh dan kuat, bahwa kebebasan dan kemerdekaan rakyat dan bangsa West Papua itu pasti Merdeka?

Sebelum saya menyampaikan dasar, pijakan dan keyakinan yang saya pegang, saya mau mengutip apa yang disampaikan Bill Clinton dalam bukunya: My Life Bill Clinton.

"I had a conversation with the woman representing Latvia. She was a view years older than I, and I had the feeling that going to these kinds of meetings was her career. She spoke with conviction about her belief that one day Soviet Communism would fail and Latvia would again be free. At the time I thought she was three bricks shy of a full load. Instead, she turned out to be as prophetic as Al Lowenstein." (Clinton: 2004,  hal. 109).

Artinya, "seorang perempuan tua dari Latvia dengan keyakinan kokoh sampaikan kepada Bill Clinton, bahwa suatu saat nanti  Komunis Soviet akan jatuh/gagal dan bangsa Latvia akan bebas dan merdeka. Perempuan ini seperti suara nabi."

Seperti keyakinan iman seperti seorang wanita Latvia ini, saya yakin dan beriman bahwa ada keyakinan iman puluhan, ratusan, bahkan ribuan perempuan, ibu-ibu dan mama-mama yang sedang berada di hutan-hutan Nduga yang sedang menderita dan juga seluruh mama-mama yang anak-anak mereka yang telah dan terus dibantai TNI-Polri kolonial Indonesia selama 50 tahun lebih sampai sekarang 2019.

Penguasa kolonial Indonesia yang menduduki dan menjajah rakyat dan bangsa West Papua berpikir, bahwa mereka kuat dan menang. Tetapi, sesungguhnya mereka telah gagal dan memalukan diri sendiri. Karena mereka masih berperilaku primitif dan kuno karena terus membantai sesama manusia di era peradaban tinggi dan keterbukaan ini, hanya dengan alasan dan atas nama keamanan nasional dan kepentingan slogan NKRI Harga Mati/ NKRI Harga Wafat/NKRI Harga Almarhum.

2. Alasan dan keyakinan saya.

2.1. Proses sejarah pengintegrasian West Papua ke dalam wilayah Indonesia yang tidak demokratis melalui Pepera 1969. Masalah Pepera 1969  sudah tulis Dr. John Saltford akademisi Inggris dan Prof. P.J. Drooglever sejarawan Belanda. Saya tulis berulang-ulang dalam tulisan-tulisan buku,  opini dan artiel saya dan itu sangat clear.

2.2. Pelanggaran Berat HAM yang merupakan Kejahatan Negara selama 50 tahun lebih bahkan masih berlangsung tahun 2019.

2.3. Persoalan kekerasan kejahatan kemanusiaan telah menjadi persoalan internasional: Ada di MSG, PIF, ACP, PBB, Dewan Gereja Dunia (WCC), dan berbagai lembaga kemanusiaan.

2.4. Generasi muda Indonesia sudah banyak mengetahui tentang persoalan kemanusiaan dan ketidakadilan yang dilakukan penguasa Indonesia di West Papua. Generasi muda Indonesia sudah mulai terbuka berdiri bersama rakyat dan bangsa West Papua.

2.5. United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) diakui dan diterima oleh komunitas global sebagai wadah politik resmi rakyat dan bangsa West Papua.

2.6. Benny Wenda akan menerima penghargaan Freedom of Oxford pada 17 Juli 2019. Benny Wenda diakaui dan dihormati sebagai pemimpin yang layak berada dalam posisi terhormat seperti Nelson Mandela dan para tokoh dunia yang berpengaruh lainnya.

2.7. TNI-Polri sendiri terus mendorong, memperkuat dan mempromosikan Kemerdekaan bangsa West Papua dengan perilaku mereka. Contohya, kasus Operasi Militer di Nduga sejak Desember 2018  yang berlansung 2019.

Puji Tuhan. Terima kasih dan apresiasi tinggi kepada TNI-Polri karena selama ini, dua institusi ini  berperan aktif, sinergis, memperkuat, mendukung dan  mengkampanyekan West Papua Merdeka. Artinya, kekejaman dan kekerasan kemanusiaan atas nama NKRI itu semuanya menjadi materi-materi kampanye West Papua Merdeka yang sangat berharga dan sangat efektif.

2.8. Dilarangnya wartawan asing mengunjungi West Papua menimbulkan banyak spekulasi dan pertanyaan dari komunitas internasional. What is hidden inside in West Papua? Apa yang disembunyikan Indonesia di West Papua?

2.9. Ada kesadaran Rakyat dan bangsa West

Rakyat dan bangsa West Papua sudah menyadari bahwa Indonesia bangsa kolonial yang sedang menduduki, menjajah, dan menindas kami.

Penguasa kolonial Indonesia sedang memusnahkan kami dengan berbagai bentuk operasi. Seperti Hewan Wayoi tegaskan:

"Pemerintah Indonesia hanya berupaya menguasai daerah ini, kemudian merencanakan pemusnahan Etnis Melanesia dan menggatinya dengan Etnis Melayu dari Indonesia. Hal ini terbukti dengan mendatangkan transmigrasi dari luar daerah dalam jumlah ribuan untuk mendiami lembah-lembah yang subur di Tanah Papua. Dua macam operasi yaitu Operasi Militer dan Operasi Transmigrasi menunjukkan indikasi yang tidak diragukan lagi dari maksud dan tujuan untuk menghilangkan Ras Melanesia di tanah ini..."    (Sumber:  Pemusnahan Etnis Melanesia: Memecah Kebisuan Sejarah Kekerasan Di Papua Barat: Yoman, 2007, hal. 143). Dikutip dari Makalah Tanah Papua (Irian Jaya) Masih Dalam Status Tanah Jajahan: Mengungkap Hati Nurani Rakyat Tanah Papua ( Bandar Numbay, Medyo Februari 1999).

Rakyat dan bangsa West Papua menyadari kami bukan bagian dari Indonesia. Hewan Wayoi menegaskan.

"Secara de facto dan de jure Tanah Papua atau Irian Jaya tidak termasuk wilayah Indonesia berdasarkan Proklamasi 17 Agustus 1945. Jadi, Tanah Papua bukan wilayah Indonesia, melainkan dijadikan daerah perisai/tameng atau bumper bagi Republik Indonesia" ( Yoman: hal. 137-138).

2.10. Pemekaran Kabupaten yang penuh kecurigaan dan kejanggalan.

Pemekaran kabupaten/provinsi di West Papua sebagai operasi militer itu terbukti dengan dokumen-dokumen Negara sangat rahasia.

Departemen Dalam Negeri, Ditjen Kesbang dan LINMAS: Konsep Rencana Operasi Pengkondisian Wilayah dan Pengembangan Jaringan Komunikadi dalam Menyikapi Arah Politik Irian Jaya (Papua) untuk Merdeka dan Melepaskan Diri Dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. ( Sumber: Nota Dinas. No.578/ND/KESBANG/D IV/VI/2000 tanggal 9 Juni 2000 berdasarkan radiogram Gubernur (caretaker) Kepala Daerah Tingkat I Irian Jaya No. BB.091/POM/060200 tanggal 2 Juni 2000 dan No.190/1671/SET/tertanggal 3 Juni 2000 yang berhubungan dengan tuntutan penentuan nasib sendiri orang Asli Papua.

Adapun data lain:  "Dokumen Dewan Ketahanan Nasional Sekretariat Jenderal, Jakarta, 27 Mei 2003 dan tertanggal 28 Mei 2003 tentang: 'Strategi Penyelesaian Konflik Berlatar Belakang Separatisme di Provinsi Papua melalui Pendekatan Politik Keamanan."

Lembaga-lembaga yang melaksanakan operasi ini ialah Departemen Dalam Negeri, Departemen Pertahanan dan Keamanan, Departemen Luar Negeri, khusus untuk operasi diplomasi, Kepolisian Kepiolisian Indonesia, Tentara Nasional Indonesia, Badan Koordinasi Intelijen Negara (BAKIN), Badan Intelijen Stategis (BAIS TNI), KOSTRAD dan KOPASSUS.

Bukti-bukti kecurigaan dan kejanggalan itu terlihat dengan perbandingan jumlah penduduk sebagai berikut:

a. Jumlah Penduduk Jawa Barat 46.497.175 jiwa.

b. Jumlah Penduduk Jawa Tengah 35.557.248 jiwa.

c. Jumlah Penduduk Jawa Timur 38.828.061 jiwa.

d. Jumlah Penduduk West Papua dalam dua provinsi masing-masing:  Papua 3.322.526 jiwa dan Papua Barat 1.069.498 jiwa.

Mengapa Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur yang banyak penduduk tidak dimekarkan kabupaten/provinsi?

Apakah layak dan memenuhi syarat penduduk West Papua 4 juta lebih membutuhkan banyak kabupaten dan pronvinsi?

Jawabannya tujuan pemerintah Indonesia untuk pemusnahan bangsa West Papua tidak diragukan lagi.

2.11. Indonesia bangsa berwatak penipu

Masalah lain yang paling berat ialah persoalan kredibilitas para penguasa Indonesia. Indonesia selalu tampil dalam forum-forum resmi dan terhormat di tingkat global dan  selalu dan terus-menerus menyebarkan berita bohong dan hoax.

Contoh: Wakil Presiden RI H. Muhammad Jusuf Kalla membohongi para pemimpin dunia di PBB pada September 2018  bahwa di West Papua tidak ada pelanggaran HAM.

Kapendam Kolonel Muhammad Aidi dari Kodam XVII Cenderawasih menyebarkan berita hoax dan kebohongan besar, bahwa Pendeta Geyimin Nagiri masih hidup. Kenyataanya Pendeta Geyimin telah ditembak mati TNI di rumahnya pada 19 Desember 2018.

2.12. Kami Sudah Sekolah. 

Kami sudah sekolah. Kami sudah tahu. Kami sudah belajar. Kami sudah mengerti. Kami sudah lihat dan sedang lihat. Kami saksikan. Kami sudah sadar. Kami ada di sini. Kami masih ada. Kami sudah bangkit. Kami alami sendiri. Kami masih ada harapan (HOPE). Kami punya martabat (Dignity). Kami sudah tahu siapa itu sesungguhnya bangsa Indonesia. Here, We Stand for.

Waa....Nore Nawot Kinaonak.

Ita Wakhu Purom, 12 Juli 2019.

OPERASI MILITER DAN TRANSMIGRASI TERJELMA DENGAN SIASAT PEMEKARAN KABUPATEN & PROVINSI DALAM RANGKA PEMUSNAHAN ETNIS MELANESIA DI WEST PAPUA

WEST PAPUA:

OPERASI MILITER DAN TRANSMIGRASI  TERJELMA DENGAN SIASAT  PEMEKARAN KABUPATEN & PROVINSI DALAM RANGKA PEMUSNAHAN ETNIS MELANESIA DI WEST PAPUA

Oleh Gembala Dr. Socratez S.Yoman

1. Pendahuluan

Sesuai teori ilmu politik dan pemerintahan, pemekaran suatu daerah, desa,  kecamatan, kabupaten/provinsi lazimnya mempunyai atau memenuhi beberapa kriteria. Kriteria/syarat itu sebagai berikut.
(a) Luas/letak wilayah;
(b) Jumlah penduduk;
(c) Sumber Daya Manusia;
(d) Sumber daya alam.

Dalam konteks West Papua dari Sorong-Merauke, sebagai wilayah koloni atau pendudukan dan penjajahan Indonesia, syarat-syarat ini tidak berlaku. Karena misi dan tujuan penguasa kolonial Indonesia di West Papua seperti yang dijelaskan oleh Herman Wayoi.

"Pemerintah Indonesia hanya berupaya menguasai daerah ini, kemudian merencanakan pemusnahan Etnis Melanesia dan menggatinya dengan Etnis Melayu dari Indonesia. Hal ini terbukti dengan mendatangkan transmigrasi dari luar daerah dalam jumlah ribuan untuk mendiami lembah-lembah yang subur di Tanah Papua. Dua macam operasi yaitu Operasi Militer dan Operasi Transmigrasi menunjukkan indikasi yang tidak diragukan lagi dari maksud dan tujuan untuk menghilangkan Ras Melanesia di tanah ini..."    (Sumber:  Pemusnahan Etnis Melanesia: Memecah Kebisuan Sejarah Kekerasan Di Papua Barat: Yoman, 2007, hal. 143). Dikutip dari Makalah Tanah Papua (Irian Jaya) Masih Dalam Status Tanah Jajahan: Mengungkap Hati Nurani Rakyat Tanah Papua ( Bandar Numbay, Medyo Februari 1999).

Wayoi menegaskan pula:

"Secara de facto dan de jure Tanah Papua atau Irian Jaya tidak termasuk wilayah Indonesia berdasarkan Proklamasi 17 Agustus 1945. Jadi, Tanah Papua bukan wilayah Indonesia, melainkan dijadikan daerah perisai/tameng atau bumper bagi Republik Indonesia" ( Yoman: hal. 137-138).

Pemekaran kabupaten/provinsi di West Papua sebagai operasi militer itu terbukti dengan dokumen-dokumen Negara sangat rahasia.

Departemen Dalam Negeri, Ditjen Kesbang dan LINMAS: Konsep Rencana Operasi Pengkondisian Wilayah dan Pengembangan Jaringan Komunikadi dalam Menyikapi Arah Politik Irian Jaya (Papua) untuk Merdeka dan Melepaskan Diri Dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. ( Sumber: Nota Dinas. No.578/ND/KESBANG/D IV/VI/2000 tanggal 9 Juni 2000 berdasarkan radiogram Gubernur (caretaker) Kepala Daerah Tingkat I Irian Jaya No. BB.091/POM/060200 tanggal 2 Juni 2000 dan No.190/1671/SET/tertanggal 3 Juni 2000 yang berhubungan dengan tuntutan penentuan nasib sendiri orang Asli Papua.

Adapun data lain:  "Dokumen Dewan Ketahanan Nasional Sekretariat Jenderal, Jakarta, 27 Mei 2003 dan tertanggal 28 Mei 2003 tentang: 'Strategi Penyelesaian Konflik Berlatar Belakang Separatisme di Provinsi Papua melalui Pendekatan Politik Keamanan."

Lembaga-lembaga yang melaksanakan operasi ini ialah Departemen Dalam Negeri, Departemen Pertahanan dan Keamanan, Departemen Luar Negeri, khusus untuk operasi diplomasi, Kepolisian Kepolisian Indonesia, Tentara Nasional Indonesia, Badan Koordinasi Intelijen Negara (BAKIN), Badan Intelijen Stategis (BAIS TNI), KOSTRAD dan KOPASSUS.

2. Komparasi Jumlah Penduduk

2.1. Jumlah Penduduk Jawa Barat 46.497.175 jiwa.

2.2. Jumlah Penduduk Jawa Tengah 35.557.248 jiwa.

2.3. Jumlah Penduduk Jawa Timur 38.828.061 jiwa.

2.4. Jumlah Penduduk West Papua dalam dua provinsi masing-masing:  Papua 3.322.526 jiwa dan Papua Barat 1.069.498 jiwa.

Total Papua dan Papua Barat hanya 4.392.024.

Dari perbandingan jumlah Penduduk Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur dan West Papua terlihat terlampau jauh dan tidak rasional dan realistis untuk pemekaran kabupaten/provinsi di West Papua dari Sorong-Merauke.

Pertanyaannya ialah apakah penduduk hanya 4.392.024 membutuhkan banyak pemekaran kabupaten dan provinsi?

Dari kenyataan seperti ini, Pemusnahan Etnis Melanesia adalah nyata di depan mata kita.

Ini kejahatan Negara dalam keadaan sadar. Ini kejahatan pemerintah Indonesia dengan cara sistematis, terstruktur, terprogram dan masif.

Pemekaran kabupaten dan provinsi juga Politik Adu-Domba-Devide et Impera bagi rakyat dan bangsa West Papua.

3. Pengalaman Afrika Selatan

Penguasa kolonial Apartheid di Afrika Selatan pada tahun 1978, Peter W. Botha menjadi Perdana Menteri dan ia menjalankan politik adu-domba dengan memecah belah persatuan rakyat Afrika Selatan dengan mendirikan Negara-negara boneka:

3.1. Negara Boneka Transkei.

3.2. Negara Boneka Bophutha Tswana.

3.3. Negara Boneka Venda.

3.4. Negara Boneka Ciskei.

(Sumber: 16 Pahlawan Perdamaian Yang Paling Berpengaruh: Sutrisno Eddy, 2002, hal. 14).

Dalam konteks West Papua, penguasa kolonial Indonesia membuka kabupaten dan provinsi boneka Indonesia di Papua. Di dalamnya membangun basis-basis TNI-Polri untuk mengawasi kehidupan Orang Asli Papua, bahkan membantai mereka dengan berbagai bentuk stigma.

Pada 10 Juli 2019
Priska Loho dengan cerdas menulis dengan topik  DAMPAK NEGATIF DARI PEMEKARAN  PROVINSI DAN KABUPATEN. Priska dapat menggambarkan 8 (delapan) bahaya dan dampak negatif pemekaran kabupaten dan provinsi.

1. Pemekaran adalah pintu masuknya kapitalisme global, eksploitasi, eksplorasi, penembangan secara ilegal dan pemekaran ini yang memicu konflik di papua.

2. Pemekaran adalah pintu masuknya kolonialisme, transmigrasi, marginalisasi, militarisme dan yang akan merampas tanah adat.

3. Pemekaran tentu akan ada pergeseran budaya secara drastis.

4. Pemekaran dapat menjadi ancaman bagi rakyat papua karena yang sebenarnya rakyat papua tidak meminta pemekaran tapi minta lepas dari negara ini.

5. Akan ada transmigrasi. Non papua akan menguasai seluruh papua di kota sampai daerah terpencil.

6. Pemekaran akan membuka pintu masuk infasi militer besar-besaran di seluruh tanah papua.

7. Karena pemekaran juga akan terjadi pengurangan populasi orang asli papua Depopulasi secara drastis.

8. Karena pemekaran juga akan terjadi perusakan ekosistem alam dengan alasan pembangunan demi kemajuan kabupaten atau provinsi. Tapi kami tdk membutuhkan pembangunan sebab bukan kami yang nikmati karena kami sedang di bunuh habis.

Rakyat papua tidak meminta pemekaran provinsi dan kabupaten, karena itu akan merusak tatanan kehidupan rakyat papua di berbagai aspek kehidupan.

Dengan melihat wacana pemekaran provinsi dan kabupaten yang merupakan ancaman dan malapetaka bagi kehidupan rakyat papua, maka kami mahasiswa dan rakyat papua dengan kesadaran yang mendalam demi menjaga tanah sebagai mama dalam keberlangsungan hidup dan juga warisan leluhur bangsa papua dengan tegas MENOLAK PEMEKARAN PROVINSI BARU DAN KABUPATEN.

4. Saran dan masukan.

4.1. Para sarjana dan orang-orang terdidik dari bangsa West Papua, kelola dan bangun bangsamu dengan kabupaten dan provinsi yang sudah ada.

4.2. Anda semua harus sadar bahwa proses pemusnahan etnis bangsa West Papua dilakukan oleh Negara dan pemerintah Indonesia yang menduduki dan menjajah dengan terang-terangan dan juga tertutup.

4.3. Ikutilah dengan cermat bahwa Negara mendatangkan orang luar/orang Melayu Indonesia tanpa terkendali dengan tujuan perubahan demografi dan bagian tak kerpisahkan pemusnahan etnis bangsa West Papua.

Dalam keadaan sangat memprihatikan seperti ini rakyat dan bangsa West Tetap mempunyai Martabat (Dignity) dan HARAPAN (HOPE).

Waa...Nowe Nawot Kinaonak.

Ita Wakhu Purom, 10 Juli 2019.

DIMATA KOLONIAL BELANDA, IR. SUKARNO SEPARATIS, DIMATA PENGUASA APARTHEID INGGRIS, NELSON MANDELA KOMUNIS, DIMATA KOLONIAL INDONESIA BENNY WENDA SEPARATIS

WEST PAPUA:

DIMATA KOLONIAL BELANDA, IR. SUKARNO SEPARATIS, DIMATA PENGUASA APARTHEID INGGRIS, NELSON MANDELA KOMUNIS, DIMATA KOLONIAL INDONESIA BENNY WENDA SEPARATIS

Oleh Gembala Dr. Socratez S.Yoman

1. Pendahuluan

Saya harus mendidik dan menjagar baik-baik para anggota DPR RI dan juga penguasa kolonial Indonesia yang tidak banyak paham atau tahu tapi bikin diri pura-pura tidak tahu.

Anggota Komisi I DPR RI, ibu Evita Nursanty mengatakan:

"Saya menyesal dan mengencam apa yang dilakukan Dewan Kota Oxford yang memberikan Honorary Freedom of the City kepada Benny Wenda, sosok yang saya yakin sebenarnya tidak dikenal baik oleh Dewan Kota Oxford." (SINDONews, Rabu, 17/7/2019).

Soal sosok Benny Wenda, barangkali Ibu Evita anggota Dewan Terhormat yang tidak kenal beliau. Sepertinya ibu baru kaget nama pak Benny Wenda. Ibu perlu belajar banyak dan wawasan harus luas sebagai wakil rakyat, dan harus tahu bahwa basis pak Benny Wenda dan kampanye West Papua Merdeka di Oxford,  kantornya Walikota. Bagaimana Walikota Oxford tidak tahu pak Benny Wenda yang berada 14 tahun sejak 2005 di Oxford? Bagaimana Walikota tidak tahu pada kenyataannya setiap 1 Desember selalu kibarkan Bendera Bintang Kejora di bumbungan Kantor Walikota.

Komunitas global, kawasan Pasifik, termasuk Australia, New Zealand,  kawasan Afrika-Karabia, kawasan Eropa, Amerika,  Amerika Latin, nama Benny Wenda dikenal sebagai pahlawan sejati pejuang keadilan, pedamaian, kesamaan derajat, hak asasi manusia dan West Papua Merdeka.

Apa yang dikatakan ibu Evita benar karena sejarah selalu mengulang. "Belanda memberikan stigma Ir. Sukarno separatis karena ia melawan kolonial Belanda yang menduduki  Indonesia dari Aceh sampai Ambon. Penguasa Apartheid, Inggris memberikan label atau stigma kepada Nelson Mandela Komunis karena melawan kekuasaan Apartheid di Afrika Selatan. Kolonial Indonesia memberikan stigma separatis kepada Benny Wenda karena pak Wenda dan bangsanya sedang melawan kolonial moderen Indonesia yang menduduki dan menjajah rakyat dan bangsa West Papua. Apa yang disampaikan para penguasa Indonesia hanya pengulangan sejarah, tidak ada hal-hal baru yang mengejutkan kita semua."

2. Benny Wenda layak mendapat Penghargaan

Benny Wenda deserve the Honorary of Freedom of Oxford. Artinya, Benny Wenda  sangat layak,  berhak dan pantas mendapat pengharaan Freedom of Oxford. Karena Walikota dan amggota Dewan sudah kenal baik dan sudah tahu persoalan kejahatan kemanusiaan yang terjadi di West Papua.

Rakyat dan bangsa West Papua dan komunitas global tidak meragukan integritas, kredibilitas dan moral Benny Wenda. Benny Wenda bukan sosok pembohong seperti kebanyakan penguasa Indonesia yang tidak punya moral politik dan selalu merusak kredibilitas bangsanya dengan kejahatan kebohongan mereka selama ini di mata komunitas global.

Seorang teman diplomat pernah diskusi dengan saya: "Pak Socratez, ada seorang jenderal aktif TNI berbicara berapi-api tentang Papua, tapi saya hanya pura-pura dengar dia karena dia banyak bohongnya."

Peristiwa terbaru pada Februari 2019, pada saat Dewan Gereja Dunia (WCC) berkunjung ke West Papua, saya, pdt. Dorman Wandikbo, pdt. Yahya Lagoan temani Ketua Tim Peter Prove dan beberapa rombongan ke Wamena. Waktu kembali dan pada makan siang  anggota WCC sampaikan kepada saya: "Socratez, pertemuan tadi semu dan hampa. Sepertinya mereka sembunyikan sesuatu yang tidak baik, terutama komandan tentara itu dari mulutnya keluar banyak tipu."

Saya jawab kepada mereka: "Now you learn and you heard directly from them." Artinya, sekarang Anda belajar dan Anda dengar secara langsung dari mereka.

3. Ir. Jokowi Tidak Dipercaya  oleh rakyat West Papua

Penguasa  kolonial dan anggota DPR RI perlu tahu, bahwa Ir. Joko Widodo tidak sepenuhnya dipilih oleh rakyat West Papua. Rakyat yang memilih pak Jokowi paling 35%, tetapi 75% dipilih oleh pak  gubernur dan  para bupati, walikota dan KPU ikuti perintah gubernur. Jadi, legitimasi rakyat West Papua kepada Ir. Jokowi juga lemah. Karena pak Jokowi tidak pernah penuhi janjinya-janjinya.

Di West Papua Ir. Jokowi menang karena pak Gubernur perintahkan untuk para bupati dan walikota untuk memenangkan pak Jokowi.

Memang harus diakui jujur, diperkotaan itu pak Jokowi mendapat dukungan signifikan karena di kota banyak penduduk orang-orang Indonesia.

4. Tidak ada pembangunan sangat pesat di West Papua

Yang ada adalah operasi militer yang kejam di Nduga  atas perintah Presiden Ir. Joko Widodo. Apakah operasi militer sedang berlangsung itu yang dibanggakan pembangunan sangat pesat. Apakah Penduduk Asli diusir dari kampung halaman mereka itu yang dipromosikan pembangunan sangat pesat. Apakah anggota TNI menembak mati seorang Pendeta senor Nigiri dan menembak mati beberapa rakyat sipil itu kemajuan pesat? Kacamata apa yang digunakan penguasa Indonesia?

Yang ada di West Papua ialah banyak Orang Asli Papua ditembak mati tapi pembunuhnya tidak pernah ditangkap dan diproses hukum. Para pembunuh ada TNI-Polri mereka berjalan bebas tanpa salah dan dosa. Pembunuh Penduduk Asli Papua diberikan pangkat pahlawan dan promosikan jabatan.

Kemajuan pesat di West Papua ialah kekerasan, kekejaman, peminggiran Penduduk Asli Papua.  Kapan Ir. Joko Widodo penuhi janji  mau selesaikan kasus 8 Desember 2014 di Paniai dimana 4 siswa ditembak mati TNI?  Apakah Ir. Joko Widodo sudah menghukum para kriminal itu?  Apa yang dibanggakan dengan Presiden Ir. Joko Widodo? Yang jelas dan pasti: Ir. Jokowi presiden powerless/tak berdaya  karena berada dibawah ketiak TNI-Polri. Walaupun secara personal pak Jokowi orang yang hebat.

Pikiran baik ibu Evita untuk mengundang Dewan Kota Oxford untuk ke West Papua disambut baik.  Karena ini pikiran positif, maka Pelapor Khusus PBB, Wartawan Asing juga diundang ke West Papua supaya melihat pembangunan pesat yang digembor-gemborkan sampai di PBB itu.

Akhir dari tulisan ini, saya himbau kepada rakyat Indonesia kedepan pilihlah wakil rakyat untuk DPR RI yang cerdas, berwawasan luas, berpikiran obyektif, punya latar belakang pendidikan yang memadai. Sebut salah contoh pemimpin terdidik, berwawasan global, obyektif,  rasional dan punya nurani seperti: Jenderal Pol. Muhammad Karnavian Tito. Congratulatins pak Tito, Anda kembali dipercaya menjadi Kapolri. Anda memang layak mendapatnya. Selamat melayani.

Semoga berguna.

Ita Wakhu Purom, 17 Juli 2019.

SAYA BUKAN ORANG INDONESIA DAN JUGA SAYA BUKAN BANGSA INDONESIA Oleh Gembala Dr. Socratez S.Yoman

WEST PAPUA:

SAYA BUKAN ORANG INDONESIA DAN JUGA SAYA BUKAN BANGSA INDONESIA

Oleh Gembala Dr. Socratez S.Yoman

1. Pendahuluan

Penulis menyadari bahwa tulisan dengan topik ini jelas akan muncul berbagai tanggapan dari para pembaca setia setiap tulisan saya. Berbeda respons itu pasti dan itu yang disebut dengan seni dalam dinamika hidup. Perbedaan itu merupakan kekakayaan dan kekuatan kita dalam hidup saling melengkapi, menguatkan, meneguhkan dan saling menginspirasi satu sama yang lain. Karena kita masing-masing unik dengan telenta dan potensi dan juga latar  belakang keyakinan iman, tingkat pendidikan,  bidang profesi, visi politik, cita-cita dan harapan masa depan.

Topik ini penulis angkat dan tulis bukan untuk mempengaruhi orang lain, teristimewa rakyat dan bangsa West Papua. Karena saya menyadari bahwa tulisan ini hanya merupakan perenungan dan refleksi personal sebagai orang Melanesia yang dilahirkan dan dibesarkan di West Papua di tengah-tengah orang Lani yang berdaulat. Jadi, saya mau menulis dalam konteks dan kapasitas sebagai orang Lani.

Sebelumnya penulis menegaskan bahwa saya orang Melanesia tulen dan bangsa West Papua asli. Martabat saya sebagai anak Melanesia tulen dan putra  bangsa West Papua asli tidak perlu dipertanyakan. Itu harganya/nilainya tidak diubah dan hidup yang dinamis dalam spirit ke-Melanesia-an dan ke-Papua-an dan juga ke-Lani-an.

Saya sadar dan tahu identitas saya dan jatidiriku. Saya dilahirkan dan dibesarkan diantara bangsaku Melanesia di West Papua yang tertindas. Saya lihat, saya dengar, saya tahu,  bangsaku sedang menangis dan menderita di atas tanah leluhur mereka karena tirani kolonial penguasa Indonesia.  Saya berjuang untuk bangsaku yang teraniaya dan terabaikan dengan cara dan gaya saya. Saya berdiri dengan jalan ini  sebagai wujud dan bukti pertanggungjawaban iman dan ilmu pengetahuan saya untuk bangsaku.  Saya tidak punya uang untuk buat mereka gembira dan senyum indah di wajah mereka. Hemat saya,  itu bukan caranya. Saya rindu bangsaku sedikit senyum waktu membaca tulisan. Itu cukup bagi saya. Sedikit senyuman bangsaku adalah kegembiraanku. Saya tidak peduli apa kata orang tentang cara saya.  Tapi saya respek mereka yang tidak setuju dengan saya. Saya menghormati semua orang. Saya mengasihi orang-orang yang bersuara dan berjuang untuk keadilan, perdamaian, harmoni, kebebasan dan martabat manusia.

2. Apa dasarnya saya bukan orang Indonesia dan saya bukan bangsa Indonesia?

Ada beberapa fakta yang tidak dapat dibantah.  Dan fakta-fakta itu sering dikaburkan, bahkan dihancurkan oleh penguasa kolonial Indonesia.

2.1. Saya orang Lani.

Kata "Lani"  memiliki  arti yang lebih dalam dan kuat.  Jika ditambah dengan kata  "Ap"  maka menjadi "Ap Lani" dan ia memiliki arti dan makna yang sempurna,  yaitu  Orang-orang Otonom, orang-orang mandiri, orang-orang independen dan orang-orang berdaulat penuh.

Ap Lani itu bisa dalam bentuk tunggal dan juga dalam bentuk jamak. Tergantung konteks kita bicara. Pembahasan ini lebih luas, maka saya fokuskan diri pada apa yang saya rindu sampaikan yang berkaitan dengan topik tulisan ini.

Dalam buku: Kita Meminum Air Dari Sumur Kita Sendiri" (Yoman, 2010, hal. 92) penulis menjelaskan sebagai berikut: 

Kata Lani itu artinya: " orang-orang independen, orang-orang yang memiliki otonomi luas, orang-orang yang merdeka, yang tidak diatur oleh siapapun. Mereka adalah orang-orang yang selalu hidup dalam kesadaran tinggi bahwa mereka memiliki kehidupan, mereka mempunyai bahasa, mereka mempunyai sejarah, mereka mempunyai tanah, mereka mempunyai gunung, mereka mempunyai hutan, mereka mempunyai sungai, mereka mempunyai dusun yang jelas, mereka mempunyai garis keturunan yang jelas, mereka mempunyai kepercayaan yang jelas, mereka mempunyai kemampuan untuk mengatur, dan mengurus apa saja, mereka tidak pernah pindah-pindah tempat, mereka hidup tertib dan teratur, mereka mempunyai segala-galanya."

Contoh:  Orang Lani mampu dan sanggup membangun rumah (honai) dengan kualitas bahan bangunan yang baik dan bertahan lama untuk jangka waktu bertahun-tahun. Rumah/honai itu dibangun di tempat yang aman dan di atas tanah yang kuat. Sebelum membangun honai, lebih dulu dicermati dan diteliti oleh orang Lani ialah mereka melakukan studi dampak lingkungan. Itu sudah terbukti bahwa rumah-rumah orang-orang Lani di pegunungan jarang bahkan tidak pernah longsor dan tertimbun tanah.

Contoh lain ialah orang Lani membangun dan membuat pagar kebun dan  honai/rumah dengan bahan-bahan bangunan yang berkualitas baik.  Kayu dan tali biasanya bahan-bahan khusus yang kuat supaya pagar itu berdiri kokoh  untuk melindungi rumah dan juga kebun.

Orang Lani juga berkebun secara teratur di tanah yang baik dan subur untuk menanam ubi-ubian dan sayur-sayuran.

Suku Lani juga dengan kreatif menciptakan api. Suku Lani dengan cerdas dan inovatif membuat jembatan gantung permanen. Para wanita Lani juga dengan keahlian dan kepandaian membuat noken untuk membesarkan anak-anak dan juga mengisi bahan makanan dan kebutuhan lain. 

Yang jelas dan pasti, suku Lani ialah bangsa yang bedaulat penuh dari turun-temurun dan tidak pernah diduduki dan diatur oleh suku lain. Tidak ada orang asing yang mengajarkan untuk melakukan dan mengerjakan yang sudah disebutkan tadi. Suku Lani adalah bangsa mempunyai kehidupan dan mempunyai segala-galanya.

Dari uraian singkat ini memberikan gambaran yang jelas bahwa pada prinsipnya orang Lani itu memiliki identitas yang jelas dan memelihara warisan leluhur dengan  berkuasa dan berdaulat penuh sejak turun-temurun.

Dalam suka Lani ada tingkatan  dalam penggunaan dan pemanggilan nama orang.   Contoh:   Panggilan terhormat bagi orang berbadan tinggi ialah Owakelu. Owakelu ada dua kata: Owak dan Elu. Owak artinya tulang dan Elu artinya tinggi. Jadi tidak bisa disebut orang tulang tinggi.

Panggilan terhormat bagi orang badan besar ialah anugun nggok. Anugun artinya perut. Nggok artinya besar. Jadi bukan orang perut besar.
Dalam sukua Lani juga ada panggilan orang-orang terpandang dan pemimpin yang dihormati dan didengarkan. Misalnya:  Ndumma artinya pemimpin pembawa damai, pembawa kesejukan dan ketenangan, pelindung dan penjaga rakyat. Ndumma itu gelar tertinggi dan terhormat dalam suku Lani. Suara Ndumma tidak biasa dilawan oleh rakyat karena ada nilai-nilai kebenaran, keadilan, kasih, kedamaian dan pengharapan.

Ap Nagawan, Ap Wakangger, Ap Nggok, Ap Nggain, Ap Akumi Inogoba. Ini semua pangkat dan sebutan orang-orang besar dan pemimpin yang digunakan dalam bahasa Lani. Semua pemimpin ini suara dan perintahnya selalu dipatuhi dan dilaksanakan karena ada wibawa dalam kata-kata. Mereka semua pelindung dan penjaga rakyat.

Pastor Frans Lieshout, OFM melegitasi,  mendukung dan memperkuat apa yang saya sampaikan dalam hal Kemandirian, Otonomi,  Kedaulatan dan Martabat  orang Lani.

"Saya masih  mengingat masyarakat Balim (Suku Hubla) seperti kami alami waktu pertama kali datang di daerah ini. Kami diterima dengan baik dan ramah, tetapi mereka tidak memerlukan sesuatu dari kami, karena sudah memiliki segala sesuatu yang mereka butuhkan itu. Mereka nampaknya sehat dan bahagia, bangga dan puas dengan keberadaan mereka. Mereka hidup mandiri dalam segala hal. Kami menjadi kagum waktu melihat bagaimana masyarakat Balim hidup dalam harmoni dengan alam sekitarnya dan bagaimana semangat kebersamaan dan persatuan mereka dalam marga, silimo, honai, konfederasi dan seterusnya mewarnai seluruh kehidupan mereka. Nilai kebersamaan itu nampak dalam artisektur rumah-rumah dan kampung, dan caranya saling bersalaman dalam acara-acara suku dan duka dengan makan bersama secara unik, dalam mengerjakan kebun, dalam melakukan perang dan menari bersama... Menyadari bahwa segala kebutuhan mereka dapat diperoleh dari tanah, maka orang Balim rajin bekerja. ...Para pemimpin tradisional mengatur dengan penuh wibawa kepentingan masyarakat mereka dan tidak ada orang yang menentang atau mendemo mereka. Maka profil asli orang Balim adalah kurang lebih sebagai berikut:
Orang Balim biasanya tampil dengan gagah, ia suka mandiri dan hidup dalam harmoni dengan alam sekitarnya, ia menjunjung tinggi kehidupan bersama dan bersatu dengan orang lain, ia mempunyai rasa harga diri tinggi, ia trampil sebagai petani dan rajin bekerja. Ia bangga dan puas dengan keberadaannya dan tidak mudah megemis. Ia mempertahankan nilai-nilai hidup baik dengan kontrol sosial yang kuat. Para pemimpin berpihak pada kepentingan masyarakat. Semuanya ini kedengarannya sangat ideal dan orang-orang yang datang dari luar, yang berusaha untuk mengenal orang Balim dengan kebudayaannya itu, menjadi kagum karenanya." "Sumber: Kebudayaan Suku Hubula Lembah Balim-Papua: Sebuah Refleksi Pribadi: 2019, hal.85-86).

Pastor Frans menulis dalam konteks kebudayaan Suku Hubula, tetapi apa yang ditulis Frans,  semuanya, hampir 100%,  sama dan ada dalam suku Ap Lani. Hanya bedanya saudara-saudara di Lembah Balim dipanggil Suku Hubula dan suku yang hidup diarah Barat dari Lembah Balim disebut Ap Lani. Ini

2.2. Proses pemaksaan untuk menerima  ideologi orang lain.

Saya diajarkan dan dipaksa mengfalal Pancasila, UUD 1945, Bhineka Tunggal Ika, Sumpah Pemuda,  dipaksa hafal tanggal 17 Agustus 1945, dipaksa menghafal lagu Indonesia raya, dipaksa hormat bendera merah putih. Saya juga dipaksa belajar nama pahlawan orang lain, contoh: Diponegoro, Hassanuddin. Saya dipaksa belajar Kerajaan Sriwijaya dan Majapahit dan lain-lain.  Ini semua kejahatan yang merusak dan menghancurkan apa yang orang Lani, bangsa West Papua dan orang Melanesia miliki.

Ini semua seperti tanaman dan rumput liar yang dipaksa tanam dalam pikiran saya. Ini semua tidak memajukan masa depan rakyat dan bangsa West Papua. Ini semua tidak berguna dan bermanfaat dalam kelangsungan hidup bangsa West Papua karena bibit liar yang dipaksa tanam di semak-semak dan di atas batu-batu. Artinya diajarkan paksa pada bangsa yang terus menolak ideologi asing.

2.3. Proses pemaksaan dalam bidang sejarah politik yang salah

Bagian ini misi saya dengan konsisten dan terus menerus menulis dalam setiap tulisan saya. Alasan saya, bahwa benang merah sebagai akar pokok persoalan ini jangan terputus,  apalagi digelapkan dan dihilangkan. Karena,  seluruh rakyat Indonesia dan komunitas Internasional tidak tahu tentang kejahatan,  kekejaman dan brutalnya Tentara Nasional Indonesia (TNI) yang merampok hak politik rakyat dan bangsa West Papua pada 1969.

Menurut Amiruddin al Rahab: "Papua berintegrasi dengan Indonesia dengan punggungnya pemerintahan militer." (Sumber: Heboh Papua Perang Rahasia, Trauma Dan Separatisme, 2010: hal. 42).

Apa yang disampaikan Amiruddin, ada fakta sejarah,  militer terlibat langsung dan berperan utama dalam pelaksanaan PEPERA 1969. Duta Besar Gabon pada saat Sidang Umum PBB pada 1969 mempertanyakan pada pertanyaan nomor 6: "Mengapa tidak ada perwakilan rahasia, tetapi musyawarah terbuka yang dihadiri pemerintah dan militer?"
(Sumber: United Nations Official Records: 1812th Plenary Meeting of the UN GA, agenda item 108, 20 November 1969, paragraf 11, hal.2).

"Pada 14 Juli 1969, PEPERA dimulai dengan 175 Anggota Dewan Musyawarah untuk Merauke. Dalam kesempatan itu kelompok besar tentara Indonesia hadir..."  (Sumber: Laporan Resmi PBB Annex 1, paragraf 189-200).

Surat pimpinan militer berbunyi: " Mempergiatkan segala aktivitas di masing-masing bidang dengan mempergunakan semua kekuatan material dan personil yang organik maupun B/P-kan baik dari AD maupun dari lain angkatan. Berpegang teguh pada pedoman. Referendum di Irian Barat (IRBA) tahun 1969 HARUS DIMENANGKAN, HARUS DIMENANGKAN..."

(Sumber: Surat Telegram Resmi Kol. Inf.Soepomo, Komando Daerah Daerah Militer Tjenderawasih Nomor: TR-20/PS/PSAD/196, tertanggal 20-2-1967, berdasarkan Radio Gram MEN/PANGAD No:TR-228/1967 TBT tertanggal 7-2-1967, perihal: Menghadapi Refendum di IRBA ( Irian Barat) tahun 1969).

Militer Indonesia benar-benar menimpahkan malapetaka bagi  bangsa West Papua. Hak politik rakyat dan bangsa West Papua benar-benar dikhianati. Hak dasar dan hati nurani rakyat West Papua dikorbankan dengan moncong senjata militer Indonesia.  Kekejaman TNI bertolak belakang dengan fakta menyatakan mayoritas 95% rakyat West Papua memilih untuk merdeka.

"...bahwa 95% orang-orang Papua mendukung gerakan kemerdekaan Papua."

(Sumber: Pertemuan Rahasia Duta Besar Amerika Serikat utk Indonesia dengan Anggota Tim PBB, Fernando Ortiz Sanz, pada Juni 1969: Summary of Jack W. Lydman's report, July 18, 1969, in NAA).

Duta Besar RI, Sudjarwo Tjondronegoro mengakui: "Banyak orang Papua kemungkinan tidak setuju tinggal dengan Indonesia."

(Sumber: UNGA Official Records MM.ex 1, paragraf 126).

Dr. Fernando Ortiz Sanz melaporkan kepada Sidang Umum PBB pada 1969:

"Mayoritas orang Papua menunjukkan berkeinginan untuk berpisah dengan Indonesia dan mendukung pikiran mendirikan Negarva Papua Merdeka."  (Sumber: UN Doc. Annex I, A/7723, paragraph 243, p.47).

Pada 2 Agustus 1969 merupakan hari terakhir pelaksanaan Pepera 1969  di Jayapura. Pada saat ini siangkuh dan sombong Brigjen Ali Murtopo dari mimbar menghina dan mencemooh rakyat dan bangsa West Papua dari mimbar kepada anggota Dewan Musyawarah Pepera (DMP).

"Jakarta tidak tertarik kepada orang Papua, melainkan wilayahnya. Jika orang Papua ingin mandiri, lebih baik beranya kepada Tuhan, apakah Dia bisa memberikan orang Papua sebuah pulau di Pasifik tempat untuk berimigrasi." (Sumber: Kesaksian Pdt. Hokujoku anggota DMP).

Prof. P.J. Drooglever sejarawan Belanda mengatakan:

"Pada 22 Agustus 1968, Dr. Ferdinant Ortiz Sanz melakukan kunjungan pertama ke Irian Jaya Barat. Ketika ia tiba, tugas-tugas kepolisian sebagian besar sudah diambil alih oleh tentara, dan selama seluruh kediamannya lebih lanjut kerja misi kami dengan penduduk Papua diawasi dengan ketat." (Sumber: Drooglever: Tindakan Pilihan Bebas: Orang Papua dan Penentuan Nasib, 2010, hal. 693).

TNI dan Polri benar-benar berperak aktif merampok hak hidup rakyat dan bangsa West Papua. TNI dan Polri dengan secara brutal membantai rakyat Papua atas nama keamanan Nasional dan kepentingan kedaulatan NKRI. TNI  memberikan stigma rakyat Papua OPM, Separatis, Makar dan mitos-mitos lainnya sesuai selera penguasa dan penindas.

Rakyat yang memperjuangkan hak hidup, keadilan, perdamaian, hak atas tanah dan hak masa depan yang lebih baik di atas tanah leluhur selalu dianggap musuh negara dan harus ditembak maka dengan mudah dihilangkan nyawanya.

Salah satu contoh penembakan 4 siswa pada 8 Desember 2014 di Paniai yang jelas  pelakunya TNI tapi dianggap biasa, bahkan Presiden RI  Joko Widodo berjanji untuk menyelesaikan kasus ini tapi sampai akhir jabatan periode pertama tidak dipenuhi janji itu.

Prof. Dr. Franz Magnis-Suseno mengakui kekejian TNI dalam bukunya: "Kebangsaan, Demokrasi, Pluralisme" (2015). 

"...Kita teringat pembunuhan keji terhadap Theys Eluay dalam mobil yang ditawarkan kepadanya untuk pulang dari sebuah resepsi Kopassus. Situasi di Papua adalah buruk, tidak normal, tidak beradab, dan memalukan, karena itu tertutup bagi media asing. Papua adalah luka membusuk di tubuh bangsa Indonesia" (hal. 255).

Magnis menambahkan: "...kita akan ditelanjangi di depan dunia beradab sebagai bangsa yang biadab, bangsa pembunuh orang-orang Papua, meski kita dipakai senjata tajam" (hal. 257).

Aristoteles Masoka, sopir Theys Eluay yang ikut diculik belum pernah ditemukan. Pembunuh Theys dan sopirnya,  Letkol Hartomo Komandan Satgas Kopassus Tribuana, Hamadi-Jayapura pada 2001 (waktu itu) sekarang sudah menjadi Kepala BAIS.

Pendeta Elisa Tabuni ditembak mati pada 16 Agustus 2004 di Tingginambut, Puncak Jaya oleh Kopassus dibawah pimpinan Dansatgas BAN-II/Kopassus, Letkol Inf. Yogi Gunawan. Para pembunuh pendeta ini juga tidak pernah ditangkap dan diproses  dihukum. Para pembunuh rakyat Papua selalu dihormati karena dianggap pahlawan nasional.

TNI menembak mati Tokoh Gereja Kemah Injil di  Nduga,  Pendeta Geyimin Nigiri pada 19 Desember 2019 di rumahnya di Nduga.  Penembakan seorang pendeta ini masih dibantah bahkan disebarkan berita bohong kepada publik oleh Kapendam Mayor Muhammad Aidi. Sampai saat ini TNI dan Polri belum mengungkap pelakunya.

3. Kesimpulan

Pada bagian kesimpulan ini penulis menyampaikan beberapa pokok yang selalu menjadi pijakan, pedoman, pegangan, kekuatan, komitmen, cahaya hati dan spirit saya untuk membela bangsaku Melanesia di West Papua. 

Karena itu, dalam tulisan ini mengapa saya membagikan kepada para pembaca dengan judul: "SAYA BUKAN INDONESIA DAN SAYA BUKAN BANGSA INDONESIA." Dasar keberanian iman dan ilmu pengetauan saya untuk membela martabat dan kehormatan bangsa saya sebagai berikut:

3.1. Selama 57 tahun, saya melihat  dan menyaksikan dan  mengalami bangsa saya dibantai oleh penguasa kolonial pemerintah Indonesia, TNI-Polri seperti hewan dan binatang atas nama dan kepentingan keamanan nasional dan slogan NKRI harga mati. Para pelaku kejahatan kemanusiaan ini diberikan pangkat pahlawan, dilindungi dan dipromosikan jabatan. Ada terjadi proses pemusnahan etnis Melanesia di West Papua secara sistematis, terprogram dan terstruktur.

3.2. Saya sudah belajar dokumen Sejarah  Pepera 1969. Hasil Pepera 1969 ada dua versi, versi Indonesia, Annex II,  100% laporan yang berisi kebohongan Indonesoa; dan versi perwakilan PBB, Dr. Fernando Ortiz Sanz, Annex I, 100% laporan kejahatan ABRI dan juga perlawanan dan perjuangan rakyat dan bangsa West Papua pro-Merdeka.

3.3. Saya sudah SEKOLAH dalam sistem Pendidikan yang diselenggarakan Indonesia dari Sekolah Dasar sampai Perguruan Tinggi.  Tetapi saya belum dijadikan orang Indonesia dan Bangsa Indonesia. Saya tetap orang Melanesia, bangsa West Papua dan Ap Lani.

3.4. Kami sudah TAHU semua. Jangan pikir kami belum TAHU. Jadi, hargai kami. Karena kami juga manusia bukan hewan. Kami juga mau hidup secara bermartabat dengan alam kami, tanah kami, roh-roh leluhur kami secara damai dan harmoni.

Doa dan harapan saya, tulis kecil ini menjadi berkat.

Ita Wakhu Purom, 21 Juli 2019.

KAMI TETAP DAN TERUS BERJUANG MELAWAN KOLONIAL FIRAUN MODEREN INDONESIA DENGAN JALAN DAMAI, BERMARTABAT, MANUSIAWI & SIMPATIK SERTA TERHORMAT SAMPAI ADA KEADILAN DAN KEDAMAIAN PERMANEN DI TANAH MELANESIA Oleh Gembala Dr. Socratez S. Yoman

WEST PAPUA:

KAMI TETAP DAN TERUS BERJUANG MELAWAN  KOLONIAL FIRAUN MODEREN INDONESIA DENGAN JALAN DAMAI,  BERMARTABAT, MANUSIAWI & SIMPATIK  SERTA  TERHORMAT SAMPAI ADA KEADILAN DAN KEDAMAIAN PERMANEN DI TANAH MELANESIA

Oleh Gembala Dr. Socratez S. Yoman

1. Pendahuluan

Kami sudah sekolah.  Kami sudah belajar. Kami sudah tahu. Kami sudah mengerti.  Kami sudah lihat dan sedang lihat. Kami sudah dengar dan sedang dengar. Kami sudah berpikir dan sedang dan terus berpikir.  Kami sudah alami dan sedang alami kekejaman dan brutalnya penguasa kolonial  Indonesia dengan kekuatan TNI-Polri dan seluruh perangkat hukum dan peraturan perundang-undangan yang  diskriminatif.

Dalam refleksi dan perenungan seperti ini, kami menyadari dan kami mengerti  bahwa kami bukan bagian dari Indonesia yang berumpun Melayu. Kami bangsa West Papua  berumpun Melanesia.

Dalam spirit ini, kami menggunakan konstitusi Indonesia sebagai salah satu landasan dan pijakan kami untuk berjuang masa depan anak dan cucu di atas tanah warisan leluhur dan nenek moyang bangsa Melanesia.

Mukadimah UUD 1945 memberikan ruang  kepada rakyat dan bangsa West Papua untuk berjuang Papua Barat Merdeka:

" Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan."

Perjuangan rakyat dan bangsa West Papua dijamin konstitusi Negara Republik Indonesia. Karena itu, pendudukan dan penjajahan Indonesia di atas rakyat dan bangsa West Papua harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan peri kemanusiaan dan perikeadilan.

2. Kami Berdiri Di Sini

Apa yang kami belajar, apa yang kami lihat, apa yang saksikan, apa yang kami alami dan apa yang dengar dan apa yang kami tahu, bahwa  kami SADAR bahwa penguasa kolonial Indonesia mendiduki, menjajah dan menindas  kami, bangsa West Papua, maka perlawanan  dengan "Kami Berdiri Di Sini" dengan alasan-alasan sebagai berikut.

2.1.  Manusia Gambar dan Rupa Allah

Berfirmanlah Allah:

"Baiklah Kita menjadikan manusia menurut gambar dan rupa Kita,..." (Kejadian 1:26).

Kitab Suci, Alkitab, Firman TUHAN menjelaskan bahwa manusia dijadikan oleh Allah sesuai gambar dan rupa TUHAN. Karena itu pembunuhan rakyat di West Papua atas nama keamanan nasional dan kepentingan kedaulatan NKRI HARUS dilawan.

TUHAN Allah tidak memberikan mandat dan kuasa kepada penguasa kolonial Indonesia untuk membunuh umat Tuhan di West Papua. Perilaku penguasa kolonial Indonesia dengan kekuatan TNI-Polri ialah tindakan biadab, kriminal dan berwatak Iblis yang kejam perusak manusia yang merupakan gambar dan rupa Allah

Firman Allah sudah jelas kepada kita semua:

"Jangan membunuh" (Keluaran 20:13).

Tetapi, penguasa kolonial Firaun moderen Indonesia dan TNI-Polri  melawan TUHAN Allah dan melawan Firman-Nya karena selama 58 tahun masih membinasakan dan merusak gambar dan rupa Allah.

Rasul Paulus ingatkan kepada kita semua.

"Tidak tahukah kamu, bahwa kamu adalah bait Allah dan bahwa Roh Allah diam di dalam kamu? Jika ada orang yang membinasakan bait Allah, maka Allah membinasakan dia. Sebab bait Allah adalah kudus dan bait Allah itu ialah kamu" (1 Korintus 3:16-17).

Pesan Rasul Paulus jelas dan tegas untuk kita semua. Kalau ada orang yang membinasakan manusia sebagai rumah dan bait Allah, maka TUHAN akan membinasakan orang itu.

Pesan ini kita tempatkan dalam konteks West Papua, pemerintah kolonial Indonesia dan TNI-Polri sedang membunuh,  membinasakan dan merusak umat Tuhan di West Papua atas nama NKRI, maka sebagai balasannya TUHAN Allah kapan saja membalas dengan membinasakan penguasa kolonial Indonesia, TNI- Polri dan membinasakan NKRI. Karena itu, pemerintah kolonial Indonesia dan TNI-Polri HARUS bertobat, berubah dan  berhenti melakukan kekerasan dan kejahatan kemanusiaan di West Papua.

2.2. West Papua Dari Sorong-Merauke Tanah Leluhur Kami.

Dasar lain yang perlu disadari dan dipegang oleh rakyat dan bangsa West Papua bahwa kami sebagai Tuan, Pemilik dan Ahli waris tanah Melanesia di West Papua. Di atas tanah ini tidak pernah ada bangsa asing menghuni pulau ini. Bangsa kolonial Indonesia sebagai bangsa asing baru menduduki dan menjajah bangsa kami sejak tahun 1961 sampai sekarang tahun 2019 sudah mencapai 58 tahun. Yang jelas dan pasti, kami sudah ada sebelum orang luar datang merampok tanah, menduduki dan memusnahkan di atas kami sendiri.

Leluhur dan nenek moyang bangsa West Papua tidak tahu namanya bangsa rumpun Melayu Indonesia. Leluhur kami tahu bahwa mereka bangsa berdaulat atas hidup di atas tanah mereka.  Mereka selalu bangga dan hidup dengan bermartabat serta terhormat

Sayang, kedaulatan bangsa West Papua berabad-abad itu dirampok, diduduki, dihancurkan oleh penguasa  kolonial Indonesia dengan misi politik, ekonomi,  keamanan dan pemusnahan Penduduk Asli bangsa West Papua.

Dalam keadaan semua benteng dan bendungan seperti  pagar, honai, noken, kebun sudah dihancurkan dan perahu sudah dibocorkan, rakyat dan bangsa West Papua harus ada kesadaran dan bangkit karena kami masih mempunyai HARAPAN (HOPE) dan MARTABAT (DIGNITY) sebagai pemilik dan ahli waris Tanah Melanesia ini. Singkat kata, Kami masih ada dan tetap ada di atas tanah leluhur kami dalam keadaan apapun. Karena di sini rumah dan hidup kami.

2.3.  Brutal dan Kejamnya ABRI (kini: TNI) dalam Pepera 1969.

Pepera 1969 akar masalah. Ini  akar penderitaan rakyat dan bangsa West Papua. Ini akar dari tetesan darah dan cucuran air mata rakyat dan bangsa West Papua. Pepera 1969 dimulainya tragedi kemanusiaan yang berkepanjangan di West Papua.

Bagian ini misi saya dengan konsisten dan terus menerus menulis dalam setiap tulisan saya. Karena penguasa Indonesia dengan berbagai cara dan terus mengkampanyekan bahwa akar persoalan di West Papua ialah Kesejahteraan. Upaya penyesatan penguasa kolonial Indonesia yang sistematis dan terstruktur dalam menghilankan akar masalah yang dipersoalkan rakyat dan bangsa West Papua.

Alasan saya, bahwa benang merah sebagai akar pokok persoalan ini jangan terputus,  apalagi digelapkan dan dihilangkan. Karena,  seluruh rakyat Indonesia dan komunitas Internasional belum tahu tentang kejahatan,  kekejaman dan brutalnya Tentara Nasional Indonesia (TNI) yang merampok hak politik rakyat dan bangsa West Papua pada 1969.

Menurut Amiruddin al Rahab: "Papua berintegrasi dengan Indonesia dengan punggungnya pemerintahan militer." (Sumber: Heboh Papua Perang Rahasia, Trauma Dan Separatisme, 2010: hal. 42).

Apa yang disampaikan Amiruddin, ada fakta sejarah,  militer terlibat langsung dan berperan utama dalam pelaksanaan PEPERA 1969. Duta Besar Gabon pada saat Sidang Umum PBB pada 1969 mempertanyakan pada pertanyaan nomor 6: "Mengapa tidak ada perwakilan rahasia, tetapi musyawarah terbuka yang dihadiri pemerintah dan militer?"
(Sumber: United Nations Official Records: 1812th Plenary Meeting of the UN GA, agenda item 108, 20 November 1969, paragraf 11, hal.2).

"Pada 14 Juli 1969, PEPERA dimulai dengan 175 Anggota Dewan Musyawarah untuk Merauke. Dalam kesempatan itu kelompok besar tentara Indonesia hadir..."  (Sumber: Laporan Resmi PBB Annex 1, paragraf 189-200).

Surat pimpinan militer berbunyi: " Mempergiatkan segala aktivitas di masing-masing bidang dengan mempergunakan semua kekuatan material dan personil yang organik maupun B/P-kan baik dari AD maupun dari lain angkatan. Berpegang teguh pada pedoman. Referendum di Irian Barat (IRBA) tahun 1969 HARUS DIMENANGKAN, HARUS DIMENANGKAN..."

(Sumber: Surat Telegram Resmi Kol. Inf.Soepomo, Komando Daerah Daerah Militer Tjenderawasih Nomor: TR-20/PS/PSAD/196, tertanggal 20-2-1967, berdasarkan Radio Gram MEN/PANGAD No:TR-228/1967 TBT tertanggal 7-2-1967, perihal: Menghadapi Refendum di IRBA ( Irian Barat) tahun 1969).

Militer Indonesia benar-benar menimpahkan malapetaka bagi  bangsa West Papua. Hak politik rakyat dan bangsa West Papua benar-benar dikhianati. Hak dasar dan hati nurani rakyat West Papua dikorbankan dengan moncong senjata militer Indonesia.  Kekejaman TNI bertolak belakang dengan fakta menyatakan mayoritas 95% rakyat West Papua memilih untuk merdeka.

"...bahwa 95% orang-orang Papua mendukung gerakan kemerdekaan Papua."

(Sumber: Pertemuan Rahasia Duta Besar Amerika Serikat utk Indonesia dengan Anggota Tim PBB, Fernando Ortiz Sanz, pada Juni 1969: Summary of Jack W. Lydman's report, July 18, 1969, in NAA).

Duta Besar RI, Sudjarwo Tjondronegoro mengakui: "Banyak orang Papua kemungkinan tidak setuju tinggal dengan Indonesia."

(Sumber: UNGA Official Records MM.ex 1, paragraf 126).

Dr. Fernando Ortiz Sanz melaporkan kepada Sidang Umum PBB pada 1969:

"Mayoritas orang Papua menunjukkan berkeinginan untuk berpisah dengan Indonesia dan mendukung pikiran mendirikan Negarva Papua Merdeka."  (Sumber: UN Doc. Annex I, A/7723, paragraph 243, p.47).

Pada 2 Agustus 1969 merupakan hari terakhir pelaksanaan Pepera 1969  di Jayapura. Pada saat ini siangkuh dan sombong Brigjen Ali Murtopo dari mimbar menghina dan mencemooh rakyat dan bangsa West Papua dari mimbar kepada anggota Dewan Musyawarah Pepera (DMP).

"Jakarta tidak tertarik kepada orang Papua, melainkan wilayahnya. Jika orang Papua ingin mandiri, lebih baik beranya kepada Tuhan, apakah Dia bisa memberikan orang Papua sebuah pulau di Pasifik tempat untuk berimigrasi." (Sumber: Kesaksian Pdt. Hokujoku anggota DMP).

Prof. P.J. Drooglever sejarawan Belanda mengatakan:

"Pada 22 Agustus 1968, Dr. Ferdinant Ortiz Sanz melakukan kunjungan pertama ke Irian Jaya Barat. Ketika ia tiba, tugas-tugas kepolisian sebagian besar sudah diambil alih oleh tentara, dan selama seluruh kediamannya lebih lanjut kerja misi kami dengan penduduk Papua diawasi dengan ketat." (Sumber: Drooglever: Tindakan Pilihan Bebas: Orang Papua dan Penentuan Nasib, 2010, hal. 693).

2.4. Pelanggaran Berat HAM sejak 1961-2019

Rohaniawan dan cendikiawan Katolik  Prof. Dr. Franz Magnes-Suseno yang berulang-ulang saya kutip di setiap essay atau artikel saya.

Prof. Franz Magnis mengakui kekejian dan kekejaman TNI dalam bukunya: "Kebangsaan, Demokrasi, Pluralisme" (2015). 

"...Kita teringat pembunuhan keji terhadap Theys Eluay dalam mobil yang ditawarkan kepadanya untuk pulang dari sebuah resepsi Kopassus. Situasi di Papua adalah buruk, tidak normal, tidak beradab, dan memalukan, karena itu tertutup bagi media asing. Papua adalah luka membusuk di tubuh bangsa Indonesia" (hal. 255).

Magnis menambahkan: "...kita akan ditelanjangi di depan dunia beradab sebagai bangsa yang biadab, bangsa pembunuh orang-orang Papua, meski kita dipakai senjata tajam" (hal. 257).

Aristoteles Masoka, sopir Theys Eluay yang ikut diculik belum pernah ditemukan. Pembunuh Theys dan sopirnya,  Letkol Hartomo Komandan Satgas Kopassus Tribuana, Hamadi-Jayapura pada 2001 (waktu itu) sekarang sudah menjadi Kepala BAIS.

Contoh terbaru, Operasi Militer Di Ndugwa awal Desember 2018-2019 memberikan fakta nyata pelanggaran berat HAM dan bencana kemanusiaan yang benar-benarkan ditimbulkan oleh TNI.

Akibat operasi militer Indonesia atas perintah Presiden RI, ada rakyat sipil yang ditembak mati, penduduk asli melarikan diri hutan-hutan dan pergi jauh dari tanah leluhur mereka karena ada operasi militer Indonesia.

Ada masih banyak pelanggaran berat HAM yang merupakan tragedi kemanusiaan  dan  masalah lain seperti perampasan tanah  dan pengrusakan hutan milik penduduk asli atas nama pembangunan nasional yang bias pendatang dan juga kepentingan penanaman kepala sawit yang tidak ada manfaat bagi Orang Asli. 

3. Kesimpulan

Tulisan pada saat ini, penulis menulis dengan judul agak panjang. "Kami Tetap & Terus Berjuang Melawan Kolonial Firaun Moderen Indonesia dengan jalan: Damai, Bermartabat, Manusiawi, & Simpatik serta Terhormat" dengan Topik: "Kami Berdiri Di Sini."

Dalam semangat memperjuangkan keadilan, perdamaian, martabat dan hak asasi bangsa West Papua, kami mempunyai pijakan dan alasan-alasan yang kami pegang untuk melawan penguasa kolonial moderen Indonesia.

Kami Berdiri Di Sini atau Kami Mempunyai alasan, dasar dan pegangan untuk membela dan mempertahankan martabat bangsa West Papua, yaitu: Manusia gambar dan rupa Allah; West Papua dari Sorong-Merauke Tanah leluhur kami; Brutal dan Kejamnya ABRI (kini TNI) dalam Pepera 1969; dan pelanggaran Berat HAM sejak 1961 sampai 2019.

Kita lihat dan alami kekerasan, kekejaman, kejahatan dan kebrutalan penguasa kolonial moderen Firaun Indonesia dan TNI-Polri tidak sepi/sunyi. Tanah West Papua telah menjadi ladang pembantaian Penduduk Asli. Ini ironi dan tragedi kemanusiaan di era peradaban moderen, informasi teknologi. Tapi sayang, kami masih manemukan perilaku TNI-Polri yang menindas bangsa West Papua dengan cara-cara kuno dan primitif. Sebenarnya, pendekatan kekerasan operasi militer adalah cara yang sudah usang. Cara berpikir penguasa kolonial Firaun moderen Indonesia dan TNI-Polri masih berada di era zaman batu.

Doa dan harapan saya, tulisan kecil ini menjadi berkat cahaya lilin kecil. Semoga!

Ita Wakhu Purom, 29 Juli 2019.

PENGUNSI NDUGA MENOLAK BANTUAN PRESIDEN RI, IR. JOKO WIDODO DAN MEMINTA PENARIKAN PASUKAN TNI DARI NDUGA Oleh Gembala Dr. Socratez S. Yoman

WEST PAPUA:

PENGUNSI NDUGA MENOLAK BANTUAN PRESIDEN RI, IR. JOKO WIDODO DAN MEMINTA PENARIKAN PASUKAN  TNI DARI NDUGA

Oleh Gembala Dr. Socratez S. Yoman

1. Pendahuluan

Pada 29 Juli 2019 saya tiba di Wamena dari Sentani-Jayapura dalam rangka tugas kunjungan pastoral ke wilayah Baptis Kuyawagi. Saya bermalam di Wamena karena kunjungan pastoral ke Kuyawagi pada 30 Juli 2019.

Pada saat saya di Wamena, saya ditelepon oleh Pendeta Esmond Walilo, Ketua Kordinator Wilayah Kingmi wilayah Lapogo dan Theodorus (Theo)  Hesegem pemerhati dan pejuang keadilan, hak asasi manusia dan perdamaian di Pegunungan  Tengah West Papua. Mereka berdua sampaikan beberapa hal.

1.1. Theo Tidak Diijinkan Ikut Pertemuan di Kodim 1702 Jayawijaya

Theodorus Hesegem mendapat undangan untuk pertemuan Dandim Jayawijaya, Kapolres Jayawijaya dan Menteri Sosial Republik Indonesia dalam rangka koordinasi bantuan bahan makanan dari Presiden RI kepada pengungsi Nduga di Weneroma, Sinakma-Wamena.

Theo tiba di Kodim dan menuju tempat pertemuan untuk ikut pertemuan, tetapi ada anggota TNI sampaikan kepada Theo bahwa dia tidak boleh  ikut dalam pertemuan itu. Theo diminta anggota TNI supaya dia duduk di luar saja.

Theo sampaikan kepada anggota TNI: " Saya datang di sini karena diundang untuk ikut pertemuan, bukan saya duduk di luar,  saya ini bangsa yang punya martabat.  Karena itu saya tinggalkan tempat pertemuan itu dan menuju tempat pengungsi di Weneroma."

1.2.  Theodorus Hesegem mengusir anggota TNI yang mengambil gambar/foto Pengungsi Nduga di Weneroma-Sinakma.

Theo mengatakan: "Saya tiba di tempat pengungsi di Weneroma. Saya melihat ada anggota TNI masuk kompleks ini dan mengambil gambar. Saya sampaikan kepada anggota TNI, ijin siapa masuk kompleks ini untuk mengambil foto para pengungsi ini? Kamu jangan rekayasa penderitaan rakyat akibat ulah kalian. Keluar dari kompleks ini dan tinggal di luar pagar di sana."

Pendeta Esmond Walilo sampaikan kepada saya.

"Kakak Yoman, tadi sore, adik Theo usir anggota TNI yang masuk di kompleks pengungsi di Weneroma yang mengambil foto para pengungsi. Seperti dulu, kakak Gembala sampaikan kepada anggota TNI waktu kunjungan Dewan Gereja Dunia (WCC) di Weneroma."

2. Pengungsi Menolak bantuan bahan makan dengan cara terhormat.

Penolakan bantuan pemerintah Republik Indonesia dengan cara elegan, bermartabat, bermoral dan terhormat. Penolakan dengan cara sopan dan santun ini representasi dari nilai budaya bangsa Melanesia yang punya martabat dan harga diri.

Rakyat dan bangsa West Papua bukan bangsa miskin dan juga pengemis. Bangsa West Papua adalah bangsa berdaulat yang punya kehidupan dan kedaulatan atas tanah, hidup, bahasa, sejarah dan segalanya sebelum bangsa kolonial moderen Indonesia menduduki, menjajah dan menindas kami.

Nilai budaya dan tata nilai kehidupan rakyat dan bangsa West Papua, tidak biasa terima dan makan makanan dari pihak musuh. Ada akibat buruk yang membawa malapetaka ketika menerima barang orang-orang yang sudah jelas-jelas musuh.

Pada 29 Juli 2019, Pdt. Kones Kogeya, Ketua Klasis Mugi Kordinator Nduga, yang dipercayakan oleh Pengungsi dari Nduga yang ada di Weneroma Wamena mengatakan kepada tamu   Kementerian Sosial  bersama Kepala Dinas Sosial Provinsi, dan Pemerintah Kabupaten  Nduga dan Jayawijaya  yang ikut hadir    di halaman Gereja Kingmi  Weneroma.

"Kami menolak  bantuan Bahan Makanan bagi pengungsi dari Kemensos RI, karena  bantuan itu tidak  disalurkan langsung kepada pengungsi dari Kemensos, tidak langsung disalurkan,  tetapi terjadi pertemuan di Kodim 1702 sebelum mengunjungi pengungsi.

Kami memiliki nilai  budaya sebagai tatanan nilai hidup, kami tidak pernah makan makanan dari tangan musuh.

Warga gereja yang kami layani  ada yang meninggal di pengungsian, mereka yang lain ditembak oleh militer. Dalam keadaan kami berduka, bapak Menteri membawa BAMA ini melalui Militer yang menurut kami,  militer adalah pembunuh yang membunuh kami, anehnya bapak libatkan pembunuh dan tangan mereka masih  berdarah-darah,   tetapi bapak menteri melibatkan mereka.   Kami minta maaf dan tidak akan menerima bantuan dari Bapak Kementerian Sosial karena sudah tidak murni lagi bantuan ini.

Kami tidak bisa mendapat bantuan dari orang-orang  pembunuh yang membunuh kami, karena kami makan dari tangan orang-orang yang membunuh kami, maka  kami membuat malapetaka dalam masyarakat kami. Itu racun yang sangat membahayakan kami."

Rakyat Nduga lebih khusus, dan pada umumnya rakyat dan bangsa West Papua, pemerintah Indonesia, TNI-Polri sudah menjadi seperti MUSUH yang sulit dipercaya.

Jelas-jelas Presiden RI, Ir. Joko Widodo perintahkan operasi militer di Ngugwa dan telah dan sedang terjadi tragedi dan musibah kemanusiaan yang ditimbulkan dengan keadaan sadar oleh Negara. Banyak nyawa manusia yang hilang karena ditembak TNI, meninggal di tempat pelarian di hutan, dan juga meninggal di tempat pengungsian. Rakyat diusir dari tanah leluhur mereka dengan operasi militer dan telah kehilangan rumah dan kebun dan ternak. Memang ironi kehidupan yang ditimbulkan TNI.

Penulis kutip isi surat penolakan dari Pengungsi:

"Perihal: Penolakan Bantuan BAMA Kementerian Sosial RI,
Yth.: Presiden Republik Indonesia c/q. Kementerian Sosial Republik Indonesia di Jakarta.

"Bahwa pada hari ini Senin tanggal 29 Juli 2019 telah diadakan rapat bahwa yang dihadiri oleh unsur gereja, adat, masyarakat lengkap dan pemerintahan kampung di halaman gedung ibadah jemaat Weneroma Wamena sejak pukul 10:55 sampai 14:13 waktu Papua, memutuskan sebagai berikut:

Bantuan BAMA yang disalurkan oleh Kementerian Sosial RI kerjasama dengan pihak TNI, kami secara sadar MENOLAK.

Dengan alasan sebagai berikut:

1. Bapak Presiden Ir. Joko Widodo harus perintahkan menarik pasukan Non Organik yang beroperasi di Nduga agar kami bisa kembali beraktivitas di kampung kami di Nduga.

2. Selama 8 bulan Negara lebih pentingkan operasi militer daripada nasib masyarakat pengungsi.

3. Sebanyak 139 orang lebih sudah meninggal karena kelaparan, kesehatan dan karena ditembak TNI.

4. Sampai bulan ke-8 ini belum ada tempat yang jelas bagi kami pengungsi.

Demikian surat Penolakan ini kami buat. Atas perhatian diucapkan terima kasih." Wamena, 29 Juli 2019

3. Penarikan Pasukan TNI dari Nduga adalah kebutuhan mendesak.

Seruan dan permintaan penarikan pasukan TNI dari Nduga datang dari berbagai pihak.

Pada 1 April 2019, Presiden Republik Indonesia, Ir. Joko Widodo meminta pasukan TNI ditarik dari Nduga. Tetapi pada tanggal 2 April Pangdam XVII Cenderawasih menjemput bupati Nduga, Yairus Gwijangge supaya buat pernyataan di Nduga aman.

Pada pertengahan bulan Juli 2019, bupati Nduga dengan para tokoh rakyat Nduga meminta TNI ditarik dari Nduga. Karena rakyat sudah tidak aman dan tinggalkan kampung halaman karena operasi militer.

Tentu saja, semua orang mencintai kedamaian dan menghormati martabat manusia merindukan dan berkeinginan baik untuk penarikan pasukan dari Nduga.

Agamua, 31 Juli 2019

Arsip Blog