Senin, 23 September 2019

AKAR PERSOALAN PAPUA IALAH RASISME, KAPITALISME, KOLONIALISME, MILITERISME, PELANGGARAN BERAT HAM DAN SEJARAH PEPERA 1969.

Oleh Gembala Dr. Socratez S.Yoman

1. Pendahuluan

Pada artikel ini, penulis berusaha menulis dengan judul artikel: Akar Persoalan Papua: Rasialisme, Kapitalisme, Kolonialisme dan Militerisme, Pelanggaran Berat HAM dan Sejarah Pepera 1969.  Ini semua sebagai akar masalah yang sebenarnya yang membelenggu, melumpuhkan,  menghancurkan dan juga terjadi proses pemusnahan etnis  rakyat dan bangsa West Papua secara sistematis, terpogram, terstruktur digalakkan oleh penjajah Indonesia dengan berlindung dibalik jargon "NKRI" harga mati dan kedaulatan Negara.

2.   Apakah benar Rasisme, Kapitalisme, Kolonialisme dan Militerisme, Pelanggaran Berat HAM dan Sejarah Pepera 1969  adalah AKAR MASALAH West Papua?

Para pembaca yang mulia dan terhormat, ikuti ulasan-ulasan berikut, tapi penulis tidak akan membahas dua topik, yaitu Pelanggaran Berat HAM dan Sejarah Pepera 1969.

2.1. Rasisme

RASISME ialah musuh utama dunia. Rasisme ialah musuh semua umat manusia apapun latar belakang dan status sosialnya. Perbuatan rasisme yang merendahkan martabat manusia adalah melawan Hukum TUHAN dan melawan TUHAN. Ujaran rasisme adalah kejahatan kemanusiaan yang luar biasa. Ujaran rasisme membangkitkan kemarahan seluruh umat manusia di planet ini. Karena semua umat manusia yang beragama dan beriman bahwa manusia adalah gambar dan rupa Allah. Seperti dalam pendahuluan Kitab Suci, undang-undang orang Kristen.

Berfirmanlah Allah: "Baiklah Kita menjadikan manusia menurut gambar dan rupa Kita..."(Kejadian 1:26).

Lebih lanjut TUHAN Allah berfirman:

"Tidak baik, kalau manusia itu seorang diri saja. Aku akan menjadikan penolong baginya, yang sepadan dengan dia. ...Lalu TUHAN Allah membuat manusia itu tidur nyenyak; ketika ia tidur, TUHAN Allah mengambil salah satu rusuk dari padanya, lalu menutup tempat itu dengan daging. Dan dari rusuk yang diambil TUHAN Allah dari manusia itu, dibangun-Nyalah seorang perempuan, lalu dibawahnya kepada manusia itu."(Kejadian 2:18,21-22).

Dari kedaulatan dan perspektif TUHAN Allah sudah jelas dan sempurna. Kita semua adalah dijadikan oleh TUHAN Allah sesuai gambar dan rupa-Nya. 

Karena keyakinan iman kita  bahwa nilai kemanusiaan lebih tinggi dalam perspektif Allah  maka tindakan rasisme dan kekerasan terhadap mahasiswa Papua di Malang, Surabaya, Jogyakarta dan Semarang pada 15-17 Aguatus 2019 yang dilakukan oleh organisasi massa radikal seperti: Front Pembela Islam (FPI), Pemuda Pancasila (PP), Forum Komunikasi Putra-Putri Purnawirawan TNI (FKPPI) dan didukung oleh aparat keamanan setempat telah memicu kemarahan rakyat dan bangsa West Papua dengan kelompok solidaritas dengan demonstrasi damai di Tanah Papua, kota-kota studi di luar Papua hingga beberapa kota di Luar Negeri, di kawasan Pasifik, Asia Tenggara, Eropa, Afrika dan Amerika Serikat.

2.1.1. Perlakuan rasisme terhadap pemain Persipura di luar Papua terjadi di depan Negara dan aparat keamanan, tapi Negara dan aparat keamanan TNI-Polri selalu diam seribu bahasa.

2.1.2. Rasisme terhadap Natalius Pigai: Foto Natalis Pigai digandengkan dan disejajarkan dengan foto Monyet yang sudah viral tapi Negara dan aparat TNI-Polri membisu 1000 bahasa.

2.1.3. Ujaran rasisme terhadap "pahlawan nasional" katanya menurut  Indonesia: Frans Kaisepo dalam mata uangnya  Indonesia Rp 10.000.

Nurazisah Asril dalam akunnya: "Saya tidak setuju dengan gambar uang baru yang mukanya menyerupai monyet.!!! Bukannya memasang wajah pahlawan malah memasang wajah seperti itu."

Ujaran rasisme yang dilandasi kebencian ini yang sudah menjadi viral, tetapi para penguasa dan aparat keamanan membiarkannya dengan diam dan membisu.

2.1.4.  Negara dan aparat keamanan membiarkan pelaku kriminal dan pembunuh orang asli dari Kelompok Warga Nusantara/Milisi Merah Putih di Jayapura pada 29-30 Agustus yang menewaskan Evert Mofu, Marcellino Samon, Maikel Kareth dan banyak luka-luka serius.

2.1.5. Aparat TNI-Polri juga menembak mati 7 orang dan 1 orang luka berat di Deiyai pada 28 Agustus 2019: Nama-nama korban: Yustinus Takimai (17), Aminadab Kotouki (24), Hans Ukago (25), Marinus Ikomou (35), Alpius Pigai (29), Ev. Derison Adii (24), Pilemon Waine (19) dan Yemi Douw (23/luka tembakan).

Tindakan dan perilaku rasisme Negara dan aparat TNI-Polri terbuka dan telanjang. Perlakuan kriminal dari TNI-Polri dan Barisan Nunsansara/Milisi Merah Putih dibiarkan. Sebaliknya, para pemrotes rasisme dan pemimpin pejuang keadilan, perdamaian, kesamaan derajat dan martabat manusia dikejar, ditangkap, dipenjarakan dan dikriminalisasi. Kejahatan Negara dan aparat keamanan TNI-Polri berjalan telanjang di siang bolong.

2.1.6. Demo melawan Rasisme di Wamena dan Jayapura 23 September 2019. Dalam menyikapi demo damai melawan Rasisme ini disikapi dengan sikap aparat keamanan yang rasis dan represif. Watak dan perilaku rasisme aparat TNI-Polri/Brimob terlihat pada hari ini. Beberapa siswa SMP dan SMA dan mahasiswa ditembak mati dan yang lain luka-luka. Selain ditembak mati aparat keamanan dengan watak rasisme menjemur mahasiswa di depan matahari dengan mata menghadap matahari. Perbuatan sangat tidak manusiawi, biadab, kejam dan kental dengan kebencian dilatarbelakangi dengan ras Melayu  yang lebih manusiawi dengan ras  Melanesia yang sama dengan monyet, anjing, babi dan kera. Karena itu ditembak mati tidak masalah, dijemur di matahari tidak salah dan direndahkan martabat tidak berdosa karena ras Papua bukan manusia.

2.2. Kapitalisme

Rakyat dan bangsa West Papua tidak saja menjadi korban rasisme sebagai akar persoalan, tetapi juga menjadi korban kepentingan kapitalisme global/internasional.

Greg Paulgrain dalam bukunya Bayang-Bayang Intervensi Perang Siasat John F.Kenney dan Allen Dulles atas Sukarno (2017) menulis sebagai berikut.

2.2.1. Dag Hammarskjold, Sekretaris Jenderal PBB di 1961 dibunuh dalam perjalanan di Kongo pada 17/18 September 1961 hanya karena kepentingan ekonomi, tambang emas di Papua, Allan Dulles, Kepala CIA Amerika terlibat dalam kematian Hammarksjold.

2.2.2. John F. Kennedy ditembak  mati hanya karena perdebatan/perebutan emas di West Papua, tentu ada alasan dan kepentingan lain.

2.2.3. Presiden pertama, founder father, Ir. Sukarno kehilangan kursi kepresiden dengan isu bahaya Komunisme karena kepentingan Kapitalisme global, terutama emas di West Papua.

2.2.4. Jonathan Rumbiak yang lebih populer John Rumbiak sebagai pelopor, pejuang dan perintis Hak Asasi Manusia di West Papua  dilumpuhkan karena konspirasi kepentingan Kapitalisme global, terutama emas di West Papua.

2.2.5. Para pejuang dan pahlawan keadilan dan perdamaian rakyat dan West Papua dari Arnold Clemens Ap dan kawan-kawan sampai peristiwa penembakan dan pembunuhan rakyat Papua pada bulan Agustus 2019 HANYA kepentingan Kapatalisme/ekonomi atau emas di West Papua.

Penguasa dan aparat keamanan TNI-Polri berpandangan bahwa monyet-monyet  HARUS dibasmi dengan berbagai cara yang wajar dan tidak karena menghalangi kebebasan mereka untuk merampok, mencuri dan menjarah emas di perut bumi West Papua. 

3. Kolonialisme

Sudah jelas dan pasti bahwa pendudukan dan penjajahan Indonesia di West Papua ialah kepentingan ekonomi, politik dan keamanan.

Herman Wayoi, pelaku dan saksi sejarah dan juga orang West Papua terpelajar tahun 1960an mengabadikan dengan tepat:

"Pemerintah Indonesia hanya berupaya menguasai daerah ini, dan menggantinya dengan Etnis Melayu dari Indonesia. Hal ini terbukti dengan mendatangkan transmigrasi dari luar daerah dalam jumlah ribuan untuk mendiami lembah-lembah yang subur di Tanah Papua. Dua macam operasi yaitu Operasi Militer dan Operasi Transmigrasi menunjukkan indikasi yang tidak diragukan dari maksud dan tujuan untuk menghilangkan Ras Melanesia di tanah ini. Rakyat Papua yang terbunuh dalam operasi-operasi militer di daerah-daerah terpencil atau pelosok pedalaman dilakukan tanpa prosedur dan pandang bulu apakah orang dewasa atau anak-anak. Memang ironis, ketidakberpihakan hukum yang adil menyebabkan nilai orang Papua dimata aparat keamanan Pemerintah Indonesia tidak lebih dari binatang buruan" (Sumber: Pemusnahan Etnis Melanesia: Yoman, 2007, hal. 143).

Nilai orang Papua dimata pemerimtah dan aparat keamanan Indonesia tidak lebih dari binatang buruan dilatari dan didukung dengan pandangan dan keyakinan rasisme terhadap orang-orang asli Papua. Penguasa dan aparat keamanan TNI-Polri menilai rendah orang Papua sebagai ras yang paling rendah di bumi ini, maka harus dimusnahkan dengan moncong senjata.

Dengan semangat dan keyakinan pemerintah dan aparat keamanan Indonesia yang sudah mengakar seperti itu: Rakyat Papua diberikan stigma dan mitos seenak nya, semaunya dan sesukanya selama ini. Contoh: Mitos primitif, terbelakang, terbodoh, tertinggal, belum maju, belum bisa, GPK, GPL, OPM, Separatis, Makar, KKSB dan monyet, kera dan bermacam-macam ujaran kebencian yang dimunculkan selama ini.

Bukti kekejaman dan brutalnya Indonesia dan aparat keamanan terlihat juga dalam proses pelaksanaan Pepera 1969.  Kekejaman Indonesia itu dilatari merasa superior dan juga manusia dan menanggap orang Papua manusia kelas dua setara dengan monyet dan kera. Pandangan dan keyakinan rasisme Indonesia sudah terlihat dalam pelaksanaan Pepera 1969 penuh rekayasa dan konspirasi kejahatan kemanusiaan ini.

4. Militerisme

Amiruddin al Rahab dalam bukunya Heboh Papua: Perang Rahasia, Trauma dan Separatisme memberikan kesimpulan dengan sempurna:

"ABRI: Wajah Indonesia di Papua (hal.41) ...Papua berintegrasi dengan Indonesia dengan tulang punggungnya pemerintahan militer (hal.42)..."ABRI adalah Indonesia, Indonesia adalah ABRI" (hal. 43). "...Freeport adalah militer" (hal. 46) dan "....Transmigrasi adalah militer" (hal.46).

Tidak rahasia umum, " Transmigrasi yang didalamnya juga masuk keluarga ABRI dan para pensiunan ABRI kian membuat orang takut sekaligus merasa tanahnya dirampas. Para purnawirawan ABRI yang ikut dalam pemukiman transmigrasi sekaligus menjadi intel Kodam 17 Cenderawasih dalam mengawasi daerah itu." (Yoman, 2007, hal. 418).

Operasi militer Indonesia di West Papua itu terbukti dengan didatangkannya ribuan anggota TNI dan Brimob ke West Papua pada bulan Agustus-September 2019 untuk menekan rakyat dan bangsa West Papua tidak menentang  RASISME sebagai akar persoalan bangsa West Papua yang disembunyikan selama ini. 

Negara dan aparat keamanan Indonesia bekerja sekuat tenaga untuk pengalihan dan pembolokkan akar persoalan, yaitu RASiSME, salah satu contoh:  Negara melalui BIN membawa 61 orang Papua  ke Jakarta pertemuan dengan Presiden Ir. Joko Widodo di Jakarta dengan tuntutan yang tidak ada relevansi dan keadaan yang dihadapi dan dialami rakyat Papua.

5. Kesimpulan

5.1. Rasisme adalah musuh Allah. Rasisme sebagai musuh seluruh umat manusia. Rasisme ialah kejahatan kemanusiaan. Rasisme ialah musuh orang Muslim, musuh orang Hindu, musuh orang Budha, musuh orang Konghucu, musuh kaum Atheis, musuh orang Kristen. RASISME ialah musuh kita bersama sebagai umat manusia. Mari kita sama-sama lawan dan brantas RASISME.

5.2. Akar Persoalan rakyat dan bangsa West Papua selama 57 tahun sejak 1961 ialah RASISME bukan Separatisme. Pemerintah dengan aparat keamanan  selama ini dengan sekuat tenaga dengan berbagai siasat menyembunyikan RASISME dengan stigma  separatis, makar dan OPM. Persoalan RASISME selalu ditutupi dengan persoalam politik, yaitu NKRI harga mati. Yang jelas dan pasti: Akar permasalah konflik di West Papua yang paling utama ialah RASISME.

Doa dan harapan saya, artikel ini menjadi berkat dan sedikit memberikan pencerahan.

Penulis: Presiden Persekutuan Gereja-gereja Baptis Papua.

Ita Wakhu Purom, 23 September 2019.

Sabtu, 07 September 2019

*"Jangan Lupakan Pelajaran Mahal dari Timor Timur"*

*"Jangan Lupakan Pelajaran Mahal dari Timor Timur"*

Ditulis oleh Dr. Dino Patti Djalal,
Pendiri Foreign Policy Community of Indonesia


Tepat 20 tahun lalu, tahun 1999, bangsa Indonesia mengalami peristiwa luar biasa : propinsi Timor Timur lepas dari NKRI setelah jajak pendapat yang dilakukan oleh PBB. Lepasnya Timor Timur juga dibarengi tragedi kemanusiaan yang ditandai kerusuhan, kekerasan, pembunuhan, pembakaran rumah dan gedung, dan ratusan ribu pengungsi.

Mungkin sulit dipercaya, sampai sekarang tidak ada satupun kajian komprehensif yang mengulas mengapa setelah sekian lama berintegrasi, sebagian besar rakyat Timor Timur akhirnya memilih untuk keluar dari NKRI.

Silahkan cek di TNI, Polri, Kementerian Luar Negeri, Kementerian Dalam Negeri, BIN, Lemhanas : tidak ada satupun lembaga negara yang pernah melakukan analisa “lessons learned” mengenai Timor Timur, baik secara individu maupun kolektif. Padahal ini merupakan pertama kalinya suatu propinsi berpisah dari NKRI.

Mengapa tidak ada kajian resmi?

Saya tidak tahu persis jawabannya, namun kemungkinan besar karena di kalangan Pemerintah dan aparat keamanan waktu itu ada perasaan kalah, malu dan trauma — terutama karena suasana pemisahan yang mencoreng kehormatan di dunia internasional.
Budaya politik kita cenderung berpaling muka dari hal-hal menyakitkan seperti ini.
Saya khawatir ada risiko bangsa kita akan mengalami amnesia sejarah yang tidak sehat dalam kehidupan bernegara.
Sebenarnya ada banyak pelajaran yang dapat kita petik dari episode integrasi dan jajak pendapat Timor Timur. Disini, saya pilihkan beberapa contoh untuk catatan kita bersama.
Pertama, di tahun 1999, kita terlalu tergesa-gesa melaksanakan jajak pendapat.

Kesepakatan untuk melakukan jajak pendapat ditandatangani di New York tanggal 5 Mei 1999, sedangkan jajak pendapat dilakukan tanggal 31 Agustus.

Memang, dari sisi kepentingan Indonesia, jadwal yang “dikebut” ini dimaksudkan untuk mengejar Sidang MPR di akhir tahun, yang diharapkan akan mengesahkan hasil jajak pendapat.

Namun akibatnya, praktis hanya ada waktu 4 bulan untuk mempersiapkan referendum yang begitu rumit, baik dari segi politik, keamanan, logistik dan lain2.

Dalam timeline sempit yang dipaksakan ini, polarisasi antar kelompok semakin tajam, konflik horizontal di lapangan semakin sengit dan situasi semakin panas.

Akhirnya, banyak kalkulasi yang salah, yang berakhir dengan tragedi. Saya pribadi berpandangan jajak pendapat di Timor Timur perlu waktu persiapan paling tidak 2 tahun — bukan 4 bulan.

Pelajaran kedua : pembangunan ekonomi ternyata tidak otomatis menghasilkan loyalitas politik.
Dulu, Timor Timur adalah “propinsi termuda” yang secara ekonomi paling dimanjakan. Anggaran pembangunan per kapita adalah yang tertinggi dibanding propinsi lain — dan bahkan konon menimbulkan kecemburuan propinsi-propinsi lain.
Pemerintah selalu membanggakan jalan, sekolah, beasiswa, gedung, dan segala fasilitas yang kita bangun, dan selalu membandingkannya dengan kondisi ekonomi Timor Timur di masa penjajahan Portugal.

Namun semua uang yang dikucurkan di Timor Timur selama 22 tahun tetap tidak merubah pilihan politik rakyat Timor Timur sewaktu referendum tahun 1999, dimana jumlah yang memilih lepas dari NKRI hampir 4 kali lebih banyak dari yang memilih otonomi dalam kerangka NKRI (78% dibanding 21%).

Mungkin pembangunan di Timor Timur tidak tepat sasaran, mungkin tidak merata, atau justru menimbulkan kesenjangan dan kecemburuan sosial, atau banyak korupsinya.

Apapun alasannya, kita waktu itu terlalu cepat puas dengan alibi ekonomi yang dampaknya ternyata sangat terbatas terhadap konflik politik yang semakin membara.

Kita juga perlu memetik pelajaran mengenai “milisi”.

Saya teringat ucapan Xanana Gusmao kepada saya sewaktu di penjara Cipinang di awal tahun 1999 : pembentukan milisi pro-otonomi berbahaya bagi proses jajak pendapat. Dalam perkembangan selanjutnya, yang dikatakan Xanana Gusmao ternyata benar.

Walaupun tentunya banyak yang baik, milisi pro-otonomi banyak juga yang melakukan intimidasi dan kekerasan terhadap rakyat Timor Timur dalam kampanye menjelang jajak pendapat. Menjelang hari-H, posisi pro-otonomi semakin mengeras, banyak yang menyatakan lebih baik perang daripada berpisah dari NKRI. Akibatnya polarisasi semakin parah, dan kemudian meletus setelah hasil jajak pendapat dumumkan.

Saya yakin cukup banyak rakyat Timor Timur yang tadinya terbuka untuk menerima otonomi namun kemudian berbalik arah karena merasa tidak nyaman ditekan oleh milisi. Disini, kita harus jujur mengakui bahwa kelompok pro-otonomi kalah bukan karena UNAMET (misi PBB yang menyelenggarakan jajak pendapat) “curang” namun karena strategi pemenangan yang keliru dan justru menimbulkan antipati.

Kita juga harus banyak belajar dari cara penanganan hak asasi manusia (human rights). Setelah berintegrasi, legitimasi Indonesia di Timor Timur masih dipertanyakan dunia internasional, sementara opini dunia banyak dipengaruhi oleh pemberitaan mengenai hak asasi manusia.

Disini, kita harus jujur berintrospeksi. Sikap kita terhadap tuduhan pelanggaran hak asasi manusia cenderung defensif, tertutup dan kurang tegas / setengah hati. Seringkali, kasus pelanggaran hak manusia yang seharusnya selesai dengan cepat menjadi panjang karena selalu ada saja yang ditutupi dan kemudian ketahuan publik.

Yang paling naas, jaminan keamanan yang diberikan Pemerintah Indonesia dalam perjanjian di PBB akhirnya gagal dipenuhi, sebagaimana tercermin dalam aksi keonaran dan bumi hangus yang mengakibatkan ratusan ribu pengungsi hengkang ke Atambua. Ini sungguh menghancurkan kredibilitas dan martabat Indonesia di dunia internasional.

Bahkan, ketika 3 staf PBB (UNHCR) yang tidak bersalah dibunuh dengan keji dan mayatnya dibakar di tengah kota Atambua, dunia nampak lebih marah dari Indonesia, bukan sebaliknya. Saya masih teringat rasa malu (shame) yang luar biasa ketika Sidang PBB di New York dibuka dengan mengheningkan cipta untuk para staf PBB yag dibunuh kelompok milisi. Ini merupakan salah satu momen paling gelap dalam sejarah Indonesia.
Pelajarannya : dalam menangani hak manusia dalam suatu konflik politik, Pemerintah dan aparat harus tegas dan transparan menyikapi segala pelanggaran dari pihak manapun.

Dalam bidang public relations, kita juga babak belur. Di dunia internasional, kita keteter dalam membentuk opini publik. Narasi yang disampaikan diplomat kita terkesan kaku, kurang persuasif dan penuh statistik ekonomi yang hambar. Di lain pihak, pemenang Nobel Perdamaian Jose Ramos Horta dan koleganya mampu memberikan narasi yang kreatif (walaupun kadang fiktif) dan manusiawi, dan menciptakan persepsi bahwa Indonesia menduduki Timor Timur, melakukan penindasan dan pelanggaran HAM.

Upaya kounter-narasi oleh tokoh Timor Timur yang pro-integrasi juga tidak nendang. Pelajarannya : komunikasi publik yang relatif buruk menjadi blind spot yang akhirnya merugikan posisi Indonesia.

Tentunya banyak lagi pelajaran dari era Timor Timur, berkaitan dengan politik identitas, diplomasi, strategi militer, politik lokal, budaya, pemuda, pendidikan, penanganan wartawan dan LSM asing, dan banyak lagi. Yang penting, pelajaran-pelajaran ini jangan hanya dijadikan bahan omongan informal, namun perlu diteliti dan digali secara sistemis agar menjadi bagian dari institutional memory Pemerintah — dan di diajarkan di Pusdiklat Lembaga2 Pemerintah dan juga Lemhanas.

Sayang sekali kalau pelajaran yang mahal ini justru dimanfaatkan orang lain dan dilupakan bangsa sendiri.


Dr. Dino Patti Djalal, Pendiri Foreign Policy Community of Indonesia dan mantan Jurubicara Pemerintah RI sewaktu jajak pendapat di Timor Timur.

(ini catatan kritis agar kita belajar dari Timtim agar tdk terulang lagi "salah langkah dan overpede Indonesia dalam penanganan Papua. Semoga masalah bs diatasi dg baik dan adil)

Sumber : https://m.facebook.com/story.php?story_fbid=2483019178598674&id=1910202019213729

Arsip Blog