Senin, 23 September 2019

AKAR PERSOALAN PAPUA IALAH RASISME, KAPITALISME, KOLONIALISME, MILITERISME, PELANGGARAN BERAT HAM DAN SEJARAH PEPERA 1969.

Oleh Gembala Dr. Socratez S.Yoman

1. Pendahuluan

Pada artikel ini, penulis berusaha menulis dengan judul artikel: Akar Persoalan Papua: Rasialisme, Kapitalisme, Kolonialisme dan Militerisme, Pelanggaran Berat HAM dan Sejarah Pepera 1969.  Ini semua sebagai akar masalah yang sebenarnya yang membelenggu, melumpuhkan,  menghancurkan dan juga terjadi proses pemusnahan etnis  rakyat dan bangsa West Papua secara sistematis, terpogram, terstruktur digalakkan oleh penjajah Indonesia dengan berlindung dibalik jargon "NKRI" harga mati dan kedaulatan Negara.

2.   Apakah benar Rasisme, Kapitalisme, Kolonialisme dan Militerisme, Pelanggaran Berat HAM dan Sejarah Pepera 1969  adalah AKAR MASALAH West Papua?

Para pembaca yang mulia dan terhormat, ikuti ulasan-ulasan berikut, tapi penulis tidak akan membahas dua topik, yaitu Pelanggaran Berat HAM dan Sejarah Pepera 1969.

2.1. Rasisme

RASISME ialah musuh utama dunia. Rasisme ialah musuh semua umat manusia apapun latar belakang dan status sosialnya. Perbuatan rasisme yang merendahkan martabat manusia adalah melawan Hukum TUHAN dan melawan TUHAN. Ujaran rasisme adalah kejahatan kemanusiaan yang luar biasa. Ujaran rasisme membangkitkan kemarahan seluruh umat manusia di planet ini. Karena semua umat manusia yang beragama dan beriman bahwa manusia adalah gambar dan rupa Allah. Seperti dalam pendahuluan Kitab Suci, undang-undang orang Kristen.

Berfirmanlah Allah: "Baiklah Kita menjadikan manusia menurut gambar dan rupa Kita..."(Kejadian 1:26).

Lebih lanjut TUHAN Allah berfirman:

"Tidak baik, kalau manusia itu seorang diri saja. Aku akan menjadikan penolong baginya, yang sepadan dengan dia. ...Lalu TUHAN Allah membuat manusia itu tidur nyenyak; ketika ia tidur, TUHAN Allah mengambil salah satu rusuk dari padanya, lalu menutup tempat itu dengan daging. Dan dari rusuk yang diambil TUHAN Allah dari manusia itu, dibangun-Nyalah seorang perempuan, lalu dibawahnya kepada manusia itu."(Kejadian 2:18,21-22).

Dari kedaulatan dan perspektif TUHAN Allah sudah jelas dan sempurna. Kita semua adalah dijadikan oleh TUHAN Allah sesuai gambar dan rupa-Nya. 

Karena keyakinan iman kita  bahwa nilai kemanusiaan lebih tinggi dalam perspektif Allah  maka tindakan rasisme dan kekerasan terhadap mahasiswa Papua di Malang, Surabaya, Jogyakarta dan Semarang pada 15-17 Aguatus 2019 yang dilakukan oleh organisasi massa radikal seperti: Front Pembela Islam (FPI), Pemuda Pancasila (PP), Forum Komunikasi Putra-Putri Purnawirawan TNI (FKPPI) dan didukung oleh aparat keamanan setempat telah memicu kemarahan rakyat dan bangsa West Papua dengan kelompok solidaritas dengan demonstrasi damai di Tanah Papua, kota-kota studi di luar Papua hingga beberapa kota di Luar Negeri, di kawasan Pasifik, Asia Tenggara, Eropa, Afrika dan Amerika Serikat.

2.1.1. Perlakuan rasisme terhadap pemain Persipura di luar Papua terjadi di depan Negara dan aparat keamanan, tapi Negara dan aparat keamanan TNI-Polri selalu diam seribu bahasa.

2.1.2. Rasisme terhadap Natalius Pigai: Foto Natalis Pigai digandengkan dan disejajarkan dengan foto Monyet yang sudah viral tapi Negara dan aparat TNI-Polri membisu 1000 bahasa.

2.1.3. Ujaran rasisme terhadap "pahlawan nasional" katanya menurut  Indonesia: Frans Kaisepo dalam mata uangnya  Indonesia Rp 10.000.

Nurazisah Asril dalam akunnya: "Saya tidak setuju dengan gambar uang baru yang mukanya menyerupai monyet.!!! Bukannya memasang wajah pahlawan malah memasang wajah seperti itu."

Ujaran rasisme yang dilandasi kebencian ini yang sudah menjadi viral, tetapi para penguasa dan aparat keamanan membiarkannya dengan diam dan membisu.

2.1.4.  Negara dan aparat keamanan membiarkan pelaku kriminal dan pembunuh orang asli dari Kelompok Warga Nusantara/Milisi Merah Putih di Jayapura pada 29-30 Agustus yang menewaskan Evert Mofu, Marcellino Samon, Maikel Kareth dan banyak luka-luka serius.

2.1.5. Aparat TNI-Polri juga menembak mati 7 orang dan 1 orang luka berat di Deiyai pada 28 Agustus 2019: Nama-nama korban: Yustinus Takimai (17), Aminadab Kotouki (24), Hans Ukago (25), Marinus Ikomou (35), Alpius Pigai (29), Ev. Derison Adii (24), Pilemon Waine (19) dan Yemi Douw (23/luka tembakan).

Tindakan dan perilaku rasisme Negara dan aparat TNI-Polri terbuka dan telanjang. Perlakuan kriminal dari TNI-Polri dan Barisan Nunsansara/Milisi Merah Putih dibiarkan. Sebaliknya, para pemrotes rasisme dan pemimpin pejuang keadilan, perdamaian, kesamaan derajat dan martabat manusia dikejar, ditangkap, dipenjarakan dan dikriminalisasi. Kejahatan Negara dan aparat keamanan TNI-Polri berjalan telanjang di siang bolong.

2.1.6. Demo melawan Rasisme di Wamena dan Jayapura 23 September 2019. Dalam menyikapi demo damai melawan Rasisme ini disikapi dengan sikap aparat keamanan yang rasis dan represif. Watak dan perilaku rasisme aparat TNI-Polri/Brimob terlihat pada hari ini. Beberapa siswa SMP dan SMA dan mahasiswa ditembak mati dan yang lain luka-luka. Selain ditembak mati aparat keamanan dengan watak rasisme menjemur mahasiswa di depan matahari dengan mata menghadap matahari. Perbuatan sangat tidak manusiawi, biadab, kejam dan kental dengan kebencian dilatarbelakangi dengan ras Melayu  yang lebih manusiawi dengan ras  Melanesia yang sama dengan monyet, anjing, babi dan kera. Karena itu ditembak mati tidak masalah, dijemur di matahari tidak salah dan direndahkan martabat tidak berdosa karena ras Papua bukan manusia.

2.2. Kapitalisme

Rakyat dan bangsa West Papua tidak saja menjadi korban rasisme sebagai akar persoalan, tetapi juga menjadi korban kepentingan kapitalisme global/internasional.

Greg Paulgrain dalam bukunya Bayang-Bayang Intervensi Perang Siasat John F.Kenney dan Allen Dulles atas Sukarno (2017) menulis sebagai berikut.

2.2.1. Dag Hammarskjold, Sekretaris Jenderal PBB di 1961 dibunuh dalam perjalanan di Kongo pada 17/18 September 1961 hanya karena kepentingan ekonomi, tambang emas di Papua, Allan Dulles, Kepala CIA Amerika terlibat dalam kematian Hammarksjold.

2.2.2. John F. Kennedy ditembak  mati hanya karena perdebatan/perebutan emas di West Papua, tentu ada alasan dan kepentingan lain.

2.2.3. Presiden pertama, founder father, Ir. Sukarno kehilangan kursi kepresiden dengan isu bahaya Komunisme karena kepentingan Kapitalisme global, terutama emas di West Papua.

2.2.4. Jonathan Rumbiak yang lebih populer John Rumbiak sebagai pelopor, pejuang dan perintis Hak Asasi Manusia di West Papua  dilumpuhkan karena konspirasi kepentingan Kapitalisme global, terutama emas di West Papua.

2.2.5. Para pejuang dan pahlawan keadilan dan perdamaian rakyat dan West Papua dari Arnold Clemens Ap dan kawan-kawan sampai peristiwa penembakan dan pembunuhan rakyat Papua pada bulan Agustus 2019 HANYA kepentingan Kapatalisme/ekonomi atau emas di West Papua.

Penguasa dan aparat keamanan TNI-Polri berpandangan bahwa monyet-monyet  HARUS dibasmi dengan berbagai cara yang wajar dan tidak karena menghalangi kebebasan mereka untuk merampok, mencuri dan menjarah emas di perut bumi West Papua. 

3. Kolonialisme

Sudah jelas dan pasti bahwa pendudukan dan penjajahan Indonesia di West Papua ialah kepentingan ekonomi, politik dan keamanan.

Herman Wayoi, pelaku dan saksi sejarah dan juga orang West Papua terpelajar tahun 1960an mengabadikan dengan tepat:

"Pemerintah Indonesia hanya berupaya menguasai daerah ini, dan menggantinya dengan Etnis Melayu dari Indonesia. Hal ini terbukti dengan mendatangkan transmigrasi dari luar daerah dalam jumlah ribuan untuk mendiami lembah-lembah yang subur di Tanah Papua. Dua macam operasi yaitu Operasi Militer dan Operasi Transmigrasi menunjukkan indikasi yang tidak diragukan dari maksud dan tujuan untuk menghilangkan Ras Melanesia di tanah ini. Rakyat Papua yang terbunuh dalam operasi-operasi militer di daerah-daerah terpencil atau pelosok pedalaman dilakukan tanpa prosedur dan pandang bulu apakah orang dewasa atau anak-anak. Memang ironis, ketidakberpihakan hukum yang adil menyebabkan nilai orang Papua dimata aparat keamanan Pemerintah Indonesia tidak lebih dari binatang buruan" (Sumber: Pemusnahan Etnis Melanesia: Yoman, 2007, hal. 143).

Nilai orang Papua dimata pemerimtah dan aparat keamanan Indonesia tidak lebih dari binatang buruan dilatari dan didukung dengan pandangan dan keyakinan rasisme terhadap orang-orang asli Papua. Penguasa dan aparat keamanan TNI-Polri menilai rendah orang Papua sebagai ras yang paling rendah di bumi ini, maka harus dimusnahkan dengan moncong senjata.

Dengan semangat dan keyakinan pemerintah dan aparat keamanan Indonesia yang sudah mengakar seperti itu: Rakyat Papua diberikan stigma dan mitos seenak nya, semaunya dan sesukanya selama ini. Contoh: Mitos primitif, terbelakang, terbodoh, tertinggal, belum maju, belum bisa, GPK, GPL, OPM, Separatis, Makar, KKSB dan monyet, kera dan bermacam-macam ujaran kebencian yang dimunculkan selama ini.

Bukti kekejaman dan brutalnya Indonesia dan aparat keamanan terlihat juga dalam proses pelaksanaan Pepera 1969.  Kekejaman Indonesia itu dilatari merasa superior dan juga manusia dan menanggap orang Papua manusia kelas dua setara dengan monyet dan kera. Pandangan dan keyakinan rasisme Indonesia sudah terlihat dalam pelaksanaan Pepera 1969 penuh rekayasa dan konspirasi kejahatan kemanusiaan ini.

4. Militerisme

Amiruddin al Rahab dalam bukunya Heboh Papua: Perang Rahasia, Trauma dan Separatisme memberikan kesimpulan dengan sempurna:

"ABRI: Wajah Indonesia di Papua (hal.41) ...Papua berintegrasi dengan Indonesia dengan tulang punggungnya pemerintahan militer (hal.42)..."ABRI adalah Indonesia, Indonesia adalah ABRI" (hal. 43). "...Freeport adalah militer" (hal. 46) dan "....Transmigrasi adalah militer" (hal.46).

Tidak rahasia umum, " Transmigrasi yang didalamnya juga masuk keluarga ABRI dan para pensiunan ABRI kian membuat orang takut sekaligus merasa tanahnya dirampas. Para purnawirawan ABRI yang ikut dalam pemukiman transmigrasi sekaligus menjadi intel Kodam 17 Cenderawasih dalam mengawasi daerah itu." (Yoman, 2007, hal. 418).

Operasi militer Indonesia di West Papua itu terbukti dengan didatangkannya ribuan anggota TNI dan Brimob ke West Papua pada bulan Agustus-September 2019 untuk menekan rakyat dan bangsa West Papua tidak menentang  RASISME sebagai akar persoalan bangsa West Papua yang disembunyikan selama ini. 

Negara dan aparat keamanan Indonesia bekerja sekuat tenaga untuk pengalihan dan pembolokkan akar persoalan, yaitu RASiSME, salah satu contoh:  Negara melalui BIN membawa 61 orang Papua  ke Jakarta pertemuan dengan Presiden Ir. Joko Widodo di Jakarta dengan tuntutan yang tidak ada relevansi dan keadaan yang dihadapi dan dialami rakyat Papua.

5. Kesimpulan

5.1. Rasisme adalah musuh Allah. Rasisme sebagai musuh seluruh umat manusia. Rasisme ialah kejahatan kemanusiaan. Rasisme ialah musuh orang Muslim, musuh orang Hindu, musuh orang Budha, musuh orang Konghucu, musuh kaum Atheis, musuh orang Kristen. RASISME ialah musuh kita bersama sebagai umat manusia. Mari kita sama-sama lawan dan brantas RASISME.

5.2. Akar Persoalan rakyat dan bangsa West Papua selama 57 tahun sejak 1961 ialah RASISME bukan Separatisme. Pemerintah dengan aparat keamanan  selama ini dengan sekuat tenaga dengan berbagai siasat menyembunyikan RASISME dengan stigma  separatis, makar dan OPM. Persoalan RASISME selalu ditutupi dengan persoalam politik, yaitu NKRI harga mati. Yang jelas dan pasti: Akar permasalah konflik di West Papua yang paling utama ialah RASISME.

Doa dan harapan saya, artikel ini menjadi berkat dan sedikit memberikan pencerahan.

Penulis: Presiden Persekutuan Gereja-gereja Baptis Papua.

Ita Wakhu Purom, 23 September 2019.

Sabtu, 07 September 2019

*"Jangan Lupakan Pelajaran Mahal dari Timor Timur"*

*"Jangan Lupakan Pelajaran Mahal dari Timor Timur"*

Ditulis oleh Dr. Dino Patti Djalal,
Pendiri Foreign Policy Community of Indonesia


Tepat 20 tahun lalu, tahun 1999, bangsa Indonesia mengalami peristiwa luar biasa : propinsi Timor Timur lepas dari NKRI setelah jajak pendapat yang dilakukan oleh PBB. Lepasnya Timor Timur juga dibarengi tragedi kemanusiaan yang ditandai kerusuhan, kekerasan, pembunuhan, pembakaran rumah dan gedung, dan ratusan ribu pengungsi.

Mungkin sulit dipercaya, sampai sekarang tidak ada satupun kajian komprehensif yang mengulas mengapa setelah sekian lama berintegrasi, sebagian besar rakyat Timor Timur akhirnya memilih untuk keluar dari NKRI.

Silahkan cek di TNI, Polri, Kementerian Luar Negeri, Kementerian Dalam Negeri, BIN, Lemhanas : tidak ada satupun lembaga negara yang pernah melakukan analisa “lessons learned” mengenai Timor Timur, baik secara individu maupun kolektif. Padahal ini merupakan pertama kalinya suatu propinsi berpisah dari NKRI.

Mengapa tidak ada kajian resmi?

Saya tidak tahu persis jawabannya, namun kemungkinan besar karena di kalangan Pemerintah dan aparat keamanan waktu itu ada perasaan kalah, malu dan trauma — terutama karena suasana pemisahan yang mencoreng kehormatan di dunia internasional.
Budaya politik kita cenderung berpaling muka dari hal-hal menyakitkan seperti ini.
Saya khawatir ada risiko bangsa kita akan mengalami amnesia sejarah yang tidak sehat dalam kehidupan bernegara.
Sebenarnya ada banyak pelajaran yang dapat kita petik dari episode integrasi dan jajak pendapat Timor Timur. Disini, saya pilihkan beberapa contoh untuk catatan kita bersama.
Pertama, di tahun 1999, kita terlalu tergesa-gesa melaksanakan jajak pendapat.

Kesepakatan untuk melakukan jajak pendapat ditandatangani di New York tanggal 5 Mei 1999, sedangkan jajak pendapat dilakukan tanggal 31 Agustus.

Memang, dari sisi kepentingan Indonesia, jadwal yang “dikebut” ini dimaksudkan untuk mengejar Sidang MPR di akhir tahun, yang diharapkan akan mengesahkan hasil jajak pendapat.

Namun akibatnya, praktis hanya ada waktu 4 bulan untuk mempersiapkan referendum yang begitu rumit, baik dari segi politik, keamanan, logistik dan lain2.

Dalam timeline sempit yang dipaksakan ini, polarisasi antar kelompok semakin tajam, konflik horizontal di lapangan semakin sengit dan situasi semakin panas.

Akhirnya, banyak kalkulasi yang salah, yang berakhir dengan tragedi. Saya pribadi berpandangan jajak pendapat di Timor Timur perlu waktu persiapan paling tidak 2 tahun — bukan 4 bulan.

Pelajaran kedua : pembangunan ekonomi ternyata tidak otomatis menghasilkan loyalitas politik.
Dulu, Timor Timur adalah “propinsi termuda” yang secara ekonomi paling dimanjakan. Anggaran pembangunan per kapita adalah yang tertinggi dibanding propinsi lain — dan bahkan konon menimbulkan kecemburuan propinsi-propinsi lain.
Pemerintah selalu membanggakan jalan, sekolah, beasiswa, gedung, dan segala fasilitas yang kita bangun, dan selalu membandingkannya dengan kondisi ekonomi Timor Timur di masa penjajahan Portugal.

Namun semua uang yang dikucurkan di Timor Timur selama 22 tahun tetap tidak merubah pilihan politik rakyat Timor Timur sewaktu referendum tahun 1999, dimana jumlah yang memilih lepas dari NKRI hampir 4 kali lebih banyak dari yang memilih otonomi dalam kerangka NKRI (78% dibanding 21%).

Mungkin pembangunan di Timor Timur tidak tepat sasaran, mungkin tidak merata, atau justru menimbulkan kesenjangan dan kecemburuan sosial, atau banyak korupsinya.

Apapun alasannya, kita waktu itu terlalu cepat puas dengan alibi ekonomi yang dampaknya ternyata sangat terbatas terhadap konflik politik yang semakin membara.

Kita juga perlu memetik pelajaran mengenai “milisi”.

Saya teringat ucapan Xanana Gusmao kepada saya sewaktu di penjara Cipinang di awal tahun 1999 : pembentukan milisi pro-otonomi berbahaya bagi proses jajak pendapat. Dalam perkembangan selanjutnya, yang dikatakan Xanana Gusmao ternyata benar.

Walaupun tentunya banyak yang baik, milisi pro-otonomi banyak juga yang melakukan intimidasi dan kekerasan terhadap rakyat Timor Timur dalam kampanye menjelang jajak pendapat. Menjelang hari-H, posisi pro-otonomi semakin mengeras, banyak yang menyatakan lebih baik perang daripada berpisah dari NKRI. Akibatnya polarisasi semakin parah, dan kemudian meletus setelah hasil jajak pendapat dumumkan.

Saya yakin cukup banyak rakyat Timor Timur yang tadinya terbuka untuk menerima otonomi namun kemudian berbalik arah karena merasa tidak nyaman ditekan oleh milisi. Disini, kita harus jujur mengakui bahwa kelompok pro-otonomi kalah bukan karena UNAMET (misi PBB yang menyelenggarakan jajak pendapat) “curang” namun karena strategi pemenangan yang keliru dan justru menimbulkan antipati.

Kita juga harus banyak belajar dari cara penanganan hak asasi manusia (human rights). Setelah berintegrasi, legitimasi Indonesia di Timor Timur masih dipertanyakan dunia internasional, sementara opini dunia banyak dipengaruhi oleh pemberitaan mengenai hak asasi manusia.

Disini, kita harus jujur berintrospeksi. Sikap kita terhadap tuduhan pelanggaran hak asasi manusia cenderung defensif, tertutup dan kurang tegas / setengah hati. Seringkali, kasus pelanggaran hak manusia yang seharusnya selesai dengan cepat menjadi panjang karena selalu ada saja yang ditutupi dan kemudian ketahuan publik.

Yang paling naas, jaminan keamanan yang diberikan Pemerintah Indonesia dalam perjanjian di PBB akhirnya gagal dipenuhi, sebagaimana tercermin dalam aksi keonaran dan bumi hangus yang mengakibatkan ratusan ribu pengungsi hengkang ke Atambua. Ini sungguh menghancurkan kredibilitas dan martabat Indonesia di dunia internasional.

Bahkan, ketika 3 staf PBB (UNHCR) yang tidak bersalah dibunuh dengan keji dan mayatnya dibakar di tengah kota Atambua, dunia nampak lebih marah dari Indonesia, bukan sebaliknya. Saya masih teringat rasa malu (shame) yang luar biasa ketika Sidang PBB di New York dibuka dengan mengheningkan cipta untuk para staf PBB yag dibunuh kelompok milisi. Ini merupakan salah satu momen paling gelap dalam sejarah Indonesia.
Pelajarannya : dalam menangani hak manusia dalam suatu konflik politik, Pemerintah dan aparat harus tegas dan transparan menyikapi segala pelanggaran dari pihak manapun.

Dalam bidang public relations, kita juga babak belur. Di dunia internasional, kita keteter dalam membentuk opini publik. Narasi yang disampaikan diplomat kita terkesan kaku, kurang persuasif dan penuh statistik ekonomi yang hambar. Di lain pihak, pemenang Nobel Perdamaian Jose Ramos Horta dan koleganya mampu memberikan narasi yang kreatif (walaupun kadang fiktif) dan manusiawi, dan menciptakan persepsi bahwa Indonesia menduduki Timor Timur, melakukan penindasan dan pelanggaran HAM.

Upaya kounter-narasi oleh tokoh Timor Timur yang pro-integrasi juga tidak nendang. Pelajarannya : komunikasi publik yang relatif buruk menjadi blind spot yang akhirnya merugikan posisi Indonesia.

Tentunya banyak lagi pelajaran dari era Timor Timur, berkaitan dengan politik identitas, diplomasi, strategi militer, politik lokal, budaya, pemuda, pendidikan, penanganan wartawan dan LSM asing, dan banyak lagi. Yang penting, pelajaran-pelajaran ini jangan hanya dijadikan bahan omongan informal, namun perlu diteliti dan digali secara sistemis agar menjadi bagian dari institutional memory Pemerintah — dan di diajarkan di Pusdiklat Lembaga2 Pemerintah dan juga Lemhanas.

Sayang sekali kalau pelajaran yang mahal ini justru dimanfaatkan orang lain dan dilupakan bangsa sendiri.


Dr. Dino Patti Djalal, Pendiri Foreign Policy Community of Indonesia dan mantan Jurubicara Pemerintah RI sewaktu jajak pendapat di Timor Timur.

(ini catatan kritis agar kita belajar dari Timtim agar tdk terulang lagi "salah langkah dan overpede Indonesia dalam penanganan Papua. Semoga masalah bs diatasi dg baik dan adil)

Sumber : https://m.facebook.com/story.php?story_fbid=2483019178598674&id=1910202019213729

Jumat, 09 Agustus 2019

15 NEGARA PERNAH MENOLAK HASIL PEPERA 1969 DALAM SIDANG UMUM PBB

WEST PAPUA:

15 NEGARA PERNAH MENOLAK HASIL PEPERA 1969 DALAM SIDANG UMUM PBB

Oleh Gembala Dr. Socratez S.Yoman

1. Pendahuluan

Proses pengintegrasian West Papua ke dalam wilayah Indonesia melalui cara-cara yang tidak beradab. Pemaksaan dengan kekerasan militer menjadi pilihan waktu Pepera 1969. Karena itu, hampir dari 15 Negara dari kawasan Afrika dan Karabia telah menolak hasil Pepera 1969 dalam Sidang Umum PBB. Akhirnya, hasil Pepera 1969 tidak disahkan, tetapi hanya dicatat "take note" karena hasil Pepera 1969 cacat hukum, moral dan melawan hukum internasional dan Perjanjian New York 15 Agustus 1962.

2. Bukti-bukti Penolakan

Duta Besar Perwakilan tetap Pemerintah Gana di PBB, Mr. Akwei melawan dan menolak dengan tegas hasil Pepera 1969 yang palsu dan cacat hukum.

"...yang dilaporkan Sekretaris Jenderal PBB bahwa bukti-bukti peristiwa keputusan pelaksanaan pemilihan bebas adalah fenomena asing, dimana Menteri Dalam Negeri naik mimbar dan benar-benar kampanye. Dia, Menteri Dalam Negeri Indonesia, dia meminta anggota-anggota dewan musyawarah untuk menentukan masa depan mereka dengan mengajak bahwa mereka satu ideologi, Pancasila, satu bendera, satu pemerintah, satu Negara dari Sabang sampai Merauke."  (Sumber: Dokumen PBB A/7723, Annex 1, paragraf 195).

Sementara delegasi Pemerintah Gabon, Mr. Davin dalam perlawanan dan penolakannya dengan tegas mengatakan ketidakjujuran dan penipuan pemerintah Indonesia terhadap rakyat dan bangsa West Papua dalam pelaksanaan Pepera 1969 di West Papua sebagai berikut.

"Setelah kami mempelajari laporan ini, utusan pemerintah Gabon menemukan hal-hal aneh dan kebingungan yang luar biasa, itu sangat sulit bagi kami untuk menyatakan pendapat kami tentang metode dan prosedur yang dipakai untuk musyawarah rakyat Irian Barat. Kami dibingungkan luar biasa dengan keberatan-keberatan yang dirumuskan oleh Mr. Ortiz Sanz dalam kata-kata terakhir pada penutupan laporannya. Berkenaan dengan metode-metode dan prosedur-prosedur ini, jika utusan saya berpikir perlunya untuk menyampaikan pertanyaan mendasar, itu dengan pasti menarik perhatian peserta Sidang untuk memastikan aspek-aspek yang ada, untuk menyatakan setidak-tidaknya kebingungan yang luar biasa. Kami harus menanyakan  kekejutan kami dan permintaan penjelasan tentang sejumah bukti-bukti yang disampaikan dalam laporan perwakilan Sekretaris Jenderal PBB.

Contoh: Kami bertanya:

(1) Mengapa sangat banyak jumlah mayoritas wakil-wakil diangkat dan dipilih oleh pemerintah dan tidak dipilih oleh rakyat?

(2) Mengapa pengamat PBB dapat hadir dalam pemilihan hanya 20% wakil, beberapa dari mereka bertugas  hanya sebentar?

(3) Mengapa pertemuan konsultasi dikepalai oleh gubernur; dengan kata lain, oleh perwakilan pemerintah?

(4) Mengapa hanya organisasi pemerintah dan bukan gerakan oposisi dapat hadir sebagai calon?

(5) Mengapa prinsip "one man one vote" yang direkomendasikan oleh perwakilan Sekretaris Jenderal PBB tidak dilaksanakan?

(6) Mengapa tidak ada perwakilan rahasia, tetapi musyawarah terbuka yang dihadiri pemerintah dan militer?

(7) Mengapa para menteri dengan sengaja hadir dan mempengaruhi wakil-wakil  (anggota Pepera) di depan umum dengan menyampaikan bahwa, " hanya hak menjawab atas pertanyaan untuk mengumumkan bahwa mereka berkeinginan tinggal dengan Indonesia?

(8) Mengapa hak-hak pengakuan dalam Pasal XXII (22) Perjanjian New York 15 Agustus 1962, yang berhubungan dengan kebebasan menyatakan pendapat; berserikat dan berkumpul tidak dinikmati oleh seluruh Penduduk Asli Papua?
(Sumber: United Nations Official Records: 1812th Plenary Meeting of the UN General Assembly, Agenda item 108, 20 November 1969, paragraph 11, p. 42).

Doa dan harapan saya, tulisan singkat ini menambah wawasan tentang akar persoalan penderitaan rakyat dan bangsa West Papua.

Ita Wakhu Purom, 10 Desember 2019.

Jumat, 02 Agustus 2019

JANGAN TAKUT KEPADA MEREKA, ANDA KEPALA SUKU BESAR DAN PEMILIK SAH TANAH INI

WEST PAPUA:

JANGAN TAKUT KEPADA MEREKA, ANDA KEPALA SUKU BESAR DAN PEMILIK SAH TANAH INI

Oleh Gembala Dr. Socratez S. Yoman

1. Pendahuluan

Topik ini saya mau tunjukan dan  membagikan kepada Anda semua, terutama Penduduk Orang Asli Papua. Karena Anda semua sudah berada dalam penjara demam ketakutan. Anda sudah menjadi seperti orang pendatang, tidak berdaya dan sudah kehilangan pijakan dan dengan mudah diatur oleh penguasa Indonesia yang secara ilegal menduduki dan menjajah rakyat Melanesia di West Papua.

Pada 17 Februari 2019 jam 22.00 malam telepon saya berdering. Nama yang muncul adik Pendeta Esmond Walilo dari Wamena. Pendeta Esmond sampaikan:

EW:  " Selamat malam kaka Yoman. Maaf, adik mengganggu jauh malam."

SSY: "Selamat malam adik Esmond. Bagaimana  adik?"

EW : "Kaka Yoman, saya dengar pak Dandim dan Kapolres Jayawijaya melarang Delegasi Dewan Gereja Dunia (WCC) ke Sinakma untuk melihat anak-anak pengungsi dari Nduga yang sedang belajar di Sekolah Darurat."

SSY: "Adik Esmond, JANGAN TAKUT KEPADA MEREKA, ANDA KEPALA SUKU BESAR DAN PEMILIK SAH TANAH WAMENA, WEST PAPUA."

Pendeta Dorman Wandikbo Presiden GIDI dan Pdt. Yahya Lagowan mewakili Pdt. Dr. Benny Giay dan saya  tiba pagi hari pada 18 Februari 2019 bersama Rombongan Delegasi Dewan Gereja Dunia. Kami bertiga Kepala Suku Besar dan Pemilik Sah Tanah Wamena, West Papua ini. Tidak ada yang perlu kita takuti dan tunduk. Kita sebuah bangsa yang bermartabat. Kami bukan bangsa budak dari para pendatang Indonesia di Tanah dan Negeri kami ini. Kami lebih berhak atas Tanah pusaka kami. Singkirkan dan kuburkan roh ketakutan. Bebaskan dirimu dari penjara ketakutan. Tidak benar dan tidak betul,  kalau Tuan Rumah takut pada tamu/pendatang."

2. Kami Dilarang Ikut Delegasi WCC untuk pertemuan dengan bupati, Dandim dan Kapolres

Ketua Klasis GKI Balim-Yalimo sampaikan pesan bupati kepada kami.

"Bapak-bapak minta maaf, dari staf bupati sampaikan bahwa pak Yoman, pak pdt. Dorman dan pdt. Yahya dilarang ikut delegasi ke kantor bupati untuk pertemuan dengan bupati, Dandim dan Kapolres."

Saya sampaikan kepada Ketua Klasis GKI Balim-Yalimo. Pak Ketua sampaikan kepada mereka bahwa Delegasi WCC adalah tamu kami (tamu Gereja), maka tetap dampingi mereka. Kami tidak berbicara, yang berhak berbicara kepada bupati adalah Delegasi WCC."

Akhir dari pertemuan antara bupati dengan Delegasi WCC di kantor bupati, pak Dandim Wamena bertanya kepada Delegasi WCC.

"Bapak-bapak dan ibu-ibu, saya perlu tahu schedule/jadwal Delegasi WCC setelah pertemuan ini kemana lagi?"

Saya sampaikan adik  Pendeta Dora Balubun untuk menjawab pertanyaan pak Dandim Jayawijaya. Ibu Pendeta Dora menjawab:

"Dari sini kami putar-putar di Wamena kota dan kembali ke kantor Klasis untuk pertemuan dan makan siang."

3. Rombongan Delegasi WCC ke Sinakma

Sesudah pertemuan delegasi dengan bupati kami keluar. Saya sampaikan adik Rosa Mawen dan Pdt Dora Balubun dan Pdt. Desmond kita ke Sinakma untuk melihat anak-anak pengungsi Nduga yang sekolah di tempat darurat.

Puji Tuhan. Kuasa Tuhan nyata dalam penderitaan umat Tuhan di Tanah ini. Para anggota Delegasi WCC mendengar langsung dari anak-anak pengungsi Nduga akibat Operasi Militer. 

Anggota TNI-Polri yang bekerja sebagai intel hampir 10 orang datang dengan motor di Sinakma. Mereka rekam semua pembicaraan anak-anak pengungsi dan Delegasi WCC dan mengambil foto  menggunakan handphone. Kami hargai mereka karena itu tugas dan pekerjaan mereka.

Saya tanya anggota intel. "Adik-adik kamu dari kesatuan mana? Namamu siapa? Kamu orang apa? Kamu darimana? Kamu harus kerja baik dan benar ya."

4. Saya Berasal dari Bangsa Merdeka dan Berdaulat Sebelum Indonesia Menjajah Kami.

Saya heran dan tidak habis pikir dan juga tidak masuk akal sehat saya. Mengapa? Karena Orang Asli Papua sebagai pemilik Tanah West Papua dari Sorong-Merauke takut kepada penguasa Indonesia sebagai tamu yang menduduki, menjajah, menjarah, merampok dan membunuh kami seenak hati dan semau mereka. Sesungguhnya Orang Asli Papua yang sudah punya pendidikan HARUS sadar keadaan tidak normal yang dialami rakyat dan bangsa West Papua. Kalau kesadaran Anda sudah dilumpuhkan maka Anda menjadi budak-budak kolonial Firaun moderen Indonesia. Sudah saatnya, Anda Sadar, Bangkit dan Lawan.

Mengapa saya katakan dari bangsa yang merdeka dan berdaulat sebelum kolonial Indonesia menduduki dan menjajah kami?

Kata " Ap Lani"  memiliki  arti yang lebih dalam, yaitu  Orang-orang Otonom, mandiri, independen dan berdaulat penuh.

Dalam buku: Kita Meminum Air Dari Sumur Kita Sendiri" (Yoman, 2010, hal. 92) penulis menjelaskan sebagai berikut:

Kata Lani itu artinya: " orang-orang independen, orang-orang yang memiliki otonomi luas, orang-orang yang merdeka, yang tidak diatur oleh siapapun. Mereka adalah orang-orang yang selalu hidup dalam kesadaran tinggi bahwa mereka memiliki kehidupan, mereka mempunyai bahasa, mereka mempunyai sejarah, mereka mempunyai tanah, mereka mempunyai gunung, mereka mempunyai hutan, mereka mempunyai sungai, mereka mempunyai dusun yang jelas, mereka mempunyai garis keturunan yang jelas, mereka mempunyai kepercayaan yang jelas, mereka mempunyai kemampuan untuk mengatur, dan mengurus apa saja, mereka tidak pernah pindah-pindah tempat, mereka hidup tertib dan teratur, mereka mempunyai segala-galanya."

Contoh:  Orang Lani mampu dan sanggup membangun rumah (honai) dengan kualitas bahan bangunan yang baik dan bertahan lama untuk jangka waktu bertahun-tahun. Rumah/honai itu dibangun di tempat yang aman dan di atas tanah yang kuat. Sebelum membangun honai, lebih dulu dicermati dan diteliti oleh orang Lani ialah mereka melakukan studi dampak lingkungan. Itu sudah terbukti bahwa rumah-rumah orang-orang Lani di pegunungan jarang bahkan tidak pernah longsor dan tertimbun tanah.

Contoh lain ialah orang Lani membangun dan membuat pagar kebun dan  honai/rumah dengan bahan-bahan bangunan yang berkualitas baik.  Kayu dan tali biasanya bahan-bahan khusus yang kuat supaya pagar itu berdiri kokoh  untuk melindungi rumah dan juga kebun.

Orang Lani juga berkebun secara teratur di tanah yang baik dan subur untuk menanam ubi-ubian dan sayur-sayuran.

Dr. George Junus Aditjondro mengakui: "...para petani di Lembah Baliem misalnya, memiliki budaya pertanian ubi-ubian yang tergolong paling canggih di dunia, hasil inovasi dan adaptasi selama 400 tahun tanpa bantuan sepotong logam" (Cahaya Bintang Kejora, 2000, hal. 50).

Suku Lani juga dengan kreatif menciptakan api. Suku Lani dengan cerdas dan inovatif membuat jembatan gantung permanen. Para wanita Lani juga dengan keahlian dan kepandaian membuat noken untuk membesarkan anak-anak dan juga mengisi bahan makanan dan kebutuhan lain. 

Yang jelas dan pasti, suku Lani ialah bangsa yang bedaulat penuh dari turun-temurun dan tidak pernah diduduki dan diatur oleh suku lain. Tidak ada orang asing yang mengajarkan untuk melakukan dan mengerjakan yang sudah disebutkan tadi. Suku Lani adalah bangsa mempunyai kehidupan dan mempunyai segala-galanya.

Dari uraian singkat ini memberikan gambaran yang jelas bahwa pada prinsipnya orang Lani itu memiliki identitas yang jelas dan memelihara warisan leluhur dengan  berkuasa dan berdaulat penuh sejak turun-temurun.

Orang Lani juga mempunyai norma dan  tingkatan  dalam penggunaan dan pemanggilan nama orang.  Contoh:

Panggilan terhormat bagi orang berbadan tinggi ialah Owakelu. Owakelu ada dua kata: Owak dan Elu. Owak artinya tulang dan Elu artinya tinggi. Jadi tidak bisa disebut orang tulang tinggi.

Panggilan terhormat bagi orang badan besar ialah anugun nggok. Anugun artinya perut. Nggok artinya besar. Jadi bukan orang perut besar.
Dalam suku Lani ada panggilan orang-orang terpandang dan pemimpin yang dihormati dan didengarkan.

Ndumma artinya pemimpin pembawa damai, pembawa kesejukan dan ketenangan, pelindung dan penjaga rakyat. Ndumma itu gelar tertinggi dan terhormat dalam suku Lani. Suara Ndumma tidak biasa dilawan oleh rakyat karena ada nilai-nilai kebenaran, keadilan, kasih, kedamaian dan pengharapan.

Ap Nagawan, Ap Wakangger, Ap Nggok, Ap Nggain, Ap Akumi Inogoba.

Ini semua pangkat dan sebutan orang-orang besar dan pemimpin yang digunakan dalam bahasa Lani. Semua pemimpin ini suara dan perintahnya selalu dipatuhi dan dilaksanakan karena ada wibawa dalam kata-kata. Mereka semua pelindung dan penjaga rakyat.

Harapan dan doa saya bahwa sudah saatnya kita sadar dan bangkit untuk menulis tentang siapa diri kita. Orang asing sudah banyak menulis dengan cara pandang mereka tentang kita untuk mereka mendapat gelar, polularitas, dan uang. Kita hargai karya mereka. Sekarang sudah waktunya kita menulis tentangi bangsa di planet ini.

Doa dan harapan saya, tulisan ini menjadi cahaya lilin kecil yang menerangi hati dan pikiran yang sudah dilumpuhkan dan  digelapkan penguasa kolonial Indonesia.

Waa...kainaok o nore nawot.

Ita Wakhu Purom, Jumat 21 Juni  2019

KEYAKINAN IMAN SAYA BAHWA RAKYAT DAN BANGSA WEST PAPUA PASTI MERDEKA SEBAGAI BANGSA BERDAULAT PENUH DI ATAS TANAH LELUHUR MEREKA

WEST PAPUA:

KEYAKINAN IMAN SAYA BAHWA  RAKYAT DAN BANGSA WEST PAPUA PASTI MERDEKA  SEBAGAI BANGSA BERDAULAT PENUH DI ATAS TANAH LELUHUR MEREKA

Oleh Gembala Dr. Socratez S.Yoman

1. Pendahuluan

Alasan dan dasar apa saya mempunyai keyakinan kokoh dan kuat, bahwa kebebasan dan kemerdekaan rakyat dan bangsa West Papua itu pasti Merdeka?

Sebelum saya menyampaikan dasar, pijakan dan keyakinan yang saya pegang, saya mau mengutip apa yang disampaikan Bill Clinton dalam bukunya: My Life Bill Clinton.

"I had a conversation with the woman representing Latvia. She was a view years older than I, and I had the feeling that going to these kinds of meetings was her career. She spoke with conviction about her belief that one day Soviet Communism would fail and Latvia would again be free. At the time I thought she was three bricks shy of a full load. Instead, she turned out to be as prophetic as Al Lowenstein." (Clinton: 2004,  hal. 109).

Artinya, "seorang perempuan tua dari Latvia dengan keyakinan kokoh sampaikan kepada Bill Clinton, bahwa suatu saat nanti  Komunis Soviet akan jatuh/gagal dan bangsa Latvia akan bebas dan merdeka. Perempuan ini seperti suara nabi."

Seperti keyakinan iman seperti seorang wanita Latvia ini, saya yakin dan beriman bahwa ada keyakinan iman puluhan, ratusan, bahkan ribuan perempuan, ibu-ibu dan mama-mama yang sedang berada di hutan-hutan Nduga yang sedang menderita dan juga seluruh mama-mama yang anak-anak mereka yang telah dan terus dibantai TNI-Polri kolonial Indonesia selama 50 tahun lebih sampai sekarang 2019.

Penguasa kolonial Indonesia yang menduduki dan menjajah rakyat dan bangsa West Papua berpikir, bahwa mereka kuat dan menang. Tetapi, sesungguhnya mereka telah gagal dan memalukan diri sendiri. Karena mereka masih berperilaku primitif dan kuno karena terus membantai sesama manusia di era peradaban tinggi dan keterbukaan ini, hanya dengan alasan dan atas nama keamanan nasional dan kepentingan slogan NKRI Harga Mati/ NKRI Harga Wafat/NKRI Harga Almarhum.

2. Alasan dan keyakinan saya.

2.1. Proses sejarah pengintegrasian West Papua ke dalam wilayah Indonesia yang tidak demokratis melalui Pepera 1969. Masalah Pepera 1969  sudah tulis Dr. John Saltford akademisi Inggris dan Prof. P.J. Drooglever sejarawan Belanda. Saya tulis berulang-ulang dalam tulisan-tulisan buku,  opini dan artiel saya dan itu sangat clear.

2.2. Pelanggaran Berat HAM yang merupakan Kejahatan Negara selama 50 tahun lebih bahkan masih berlangsung tahun 2019.

2.3. Persoalan kekerasan kejahatan kemanusiaan telah menjadi persoalan internasional: Ada di MSG, PIF, ACP, PBB, Dewan Gereja Dunia (WCC), dan berbagai lembaga kemanusiaan.

2.4. Generasi muda Indonesia sudah banyak mengetahui tentang persoalan kemanusiaan dan ketidakadilan yang dilakukan penguasa Indonesia di West Papua. Generasi muda Indonesia sudah mulai terbuka berdiri bersama rakyat dan bangsa West Papua.

2.5. United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) diakui dan diterima oleh komunitas global sebagai wadah politik resmi rakyat dan bangsa West Papua.

2.6. Benny Wenda akan menerima penghargaan Freedom of Oxford pada 17 Juli 2019. Benny Wenda diakaui dan dihormati sebagai pemimpin yang layak berada dalam posisi terhormat seperti Nelson Mandela dan para tokoh dunia yang berpengaruh lainnya.

2.7. TNI-Polri sendiri terus mendorong, memperkuat dan mempromosikan Kemerdekaan bangsa West Papua dengan perilaku mereka. Contohya, kasus Operasi Militer di Nduga sejak Desember 2018  yang berlansung 2019.

Puji Tuhan. Terima kasih dan apresiasi tinggi kepada TNI-Polri karena selama ini, dua institusi ini  berperan aktif, sinergis, memperkuat, mendukung dan  mengkampanyekan West Papua Merdeka. Artinya, kekejaman dan kekerasan kemanusiaan atas nama NKRI itu semuanya menjadi materi-materi kampanye West Papua Merdeka yang sangat berharga dan sangat efektif.

2.8. Dilarangnya wartawan asing mengunjungi West Papua menimbulkan banyak spekulasi dan pertanyaan dari komunitas internasional. What is hidden inside in West Papua? Apa yang disembunyikan Indonesia di West Papua?

2.9. Ada kesadaran Rakyat dan bangsa West

Rakyat dan bangsa West Papua sudah menyadari bahwa Indonesia bangsa kolonial yang sedang menduduki, menjajah, dan menindas kami.

Penguasa kolonial Indonesia sedang memusnahkan kami dengan berbagai bentuk operasi. Seperti Hewan Wayoi tegaskan:

"Pemerintah Indonesia hanya berupaya menguasai daerah ini, kemudian merencanakan pemusnahan Etnis Melanesia dan menggatinya dengan Etnis Melayu dari Indonesia. Hal ini terbukti dengan mendatangkan transmigrasi dari luar daerah dalam jumlah ribuan untuk mendiami lembah-lembah yang subur di Tanah Papua. Dua macam operasi yaitu Operasi Militer dan Operasi Transmigrasi menunjukkan indikasi yang tidak diragukan lagi dari maksud dan tujuan untuk menghilangkan Ras Melanesia di tanah ini..."    (Sumber:  Pemusnahan Etnis Melanesia: Memecah Kebisuan Sejarah Kekerasan Di Papua Barat: Yoman, 2007, hal. 143). Dikutip dari Makalah Tanah Papua (Irian Jaya) Masih Dalam Status Tanah Jajahan: Mengungkap Hati Nurani Rakyat Tanah Papua ( Bandar Numbay, Medyo Februari 1999).

Rakyat dan bangsa West Papua menyadari kami bukan bagian dari Indonesia. Hewan Wayoi menegaskan.

"Secara de facto dan de jure Tanah Papua atau Irian Jaya tidak termasuk wilayah Indonesia berdasarkan Proklamasi 17 Agustus 1945. Jadi, Tanah Papua bukan wilayah Indonesia, melainkan dijadikan daerah perisai/tameng atau bumper bagi Republik Indonesia" ( Yoman: hal. 137-138).

2.10. Pemekaran Kabupaten yang penuh kecurigaan dan kejanggalan.

Pemekaran kabupaten/provinsi di West Papua sebagai operasi militer itu terbukti dengan dokumen-dokumen Negara sangat rahasia.

Departemen Dalam Negeri, Ditjen Kesbang dan LINMAS: Konsep Rencana Operasi Pengkondisian Wilayah dan Pengembangan Jaringan Komunikadi dalam Menyikapi Arah Politik Irian Jaya (Papua) untuk Merdeka dan Melepaskan Diri Dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. ( Sumber: Nota Dinas. No.578/ND/KESBANG/D IV/VI/2000 tanggal 9 Juni 2000 berdasarkan radiogram Gubernur (caretaker) Kepala Daerah Tingkat I Irian Jaya No. BB.091/POM/060200 tanggal 2 Juni 2000 dan No.190/1671/SET/tertanggal 3 Juni 2000 yang berhubungan dengan tuntutan penentuan nasib sendiri orang Asli Papua.

Adapun data lain:  "Dokumen Dewan Ketahanan Nasional Sekretariat Jenderal, Jakarta, 27 Mei 2003 dan tertanggal 28 Mei 2003 tentang: 'Strategi Penyelesaian Konflik Berlatar Belakang Separatisme di Provinsi Papua melalui Pendekatan Politik Keamanan."

Lembaga-lembaga yang melaksanakan operasi ini ialah Departemen Dalam Negeri, Departemen Pertahanan dan Keamanan, Departemen Luar Negeri, khusus untuk operasi diplomasi, Kepolisian Kepiolisian Indonesia, Tentara Nasional Indonesia, Badan Koordinasi Intelijen Negara (BAKIN), Badan Intelijen Stategis (BAIS TNI), KOSTRAD dan KOPASSUS.

Bukti-bukti kecurigaan dan kejanggalan itu terlihat dengan perbandingan jumlah penduduk sebagai berikut:

a. Jumlah Penduduk Jawa Barat 46.497.175 jiwa.

b. Jumlah Penduduk Jawa Tengah 35.557.248 jiwa.

c. Jumlah Penduduk Jawa Timur 38.828.061 jiwa.

d. Jumlah Penduduk West Papua dalam dua provinsi masing-masing:  Papua 3.322.526 jiwa dan Papua Barat 1.069.498 jiwa.

Mengapa Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur yang banyak penduduk tidak dimekarkan kabupaten/provinsi?

Apakah layak dan memenuhi syarat penduduk West Papua 4 juta lebih membutuhkan banyak kabupaten dan pronvinsi?

Jawabannya tujuan pemerintah Indonesia untuk pemusnahan bangsa West Papua tidak diragukan lagi.

2.11. Indonesia bangsa berwatak penipu

Masalah lain yang paling berat ialah persoalan kredibilitas para penguasa Indonesia. Indonesia selalu tampil dalam forum-forum resmi dan terhormat di tingkat global dan  selalu dan terus-menerus menyebarkan berita bohong dan hoax.

Contoh: Wakil Presiden RI H. Muhammad Jusuf Kalla membohongi para pemimpin dunia di PBB pada September 2018  bahwa di West Papua tidak ada pelanggaran HAM.

Kapendam Kolonel Muhammad Aidi dari Kodam XVII Cenderawasih menyebarkan berita hoax dan kebohongan besar, bahwa Pendeta Geyimin Nagiri masih hidup. Kenyataanya Pendeta Geyimin telah ditembak mati TNI di rumahnya pada 19 Desember 2018.

2.12. Kami Sudah Sekolah. 

Kami sudah sekolah. Kami sudah tahu. Kami sudah belajar. Kami sudah mengerti. Kami sudah lihat dan sedang lihat. Kami saksikan. Kami sudah sadar. Kami ada di sini. Kami masih ada. Kami sudah bangkit. Kami alami sendiri. Kami masih ada harapan (HOPE). Kami punya martabat (Dignity). Kami sudah tahu siapa itu sesungguhnya bangsa Indonesia. Here, We Stand for.

Waa....Nore Nawot Kinaonak.

Ita Wakhu Purom, 12 Juli 2019.

OPERASI MILITER DAN TRANSMIGRASI TERJELMA DENGAN SIASAT PEMEKARAN KABUPATEN & PROVINSI DALAM RANGKA PEMUSNAHAN ETNIS MELANESIA DI WEST PAPUA

WEST PAPUA:

OPERASI MILITER DAN TRANSMIGRASI  TERJELMA DENGAN SIASAT  PEMEKARAN KABUPATEN & PROVINSI DALAM RANGKA PEMUSNAHAN ETNIS MELANESIA DI WEST PAPUA

Oleh Gembala Dr. Socratez S.Yoman

1. Pendahuluan

Sesuai teori ilmu politik dan pemerintahan, pemekaran suatu daerah, desa,  kecamatan, kabupaten/provinsi lazimnya mempunyai atau memenuhi beberapa kriteria. Kriteria/syarat itu sebagai berikut.
(a) Luas/letak wilayah;
(b) Jumlah penduduk;
(c) Sumber Daya Manusia;
(d) Sumber daya alam.

Dalam konteks West Papua dari Sorong-Merauke, sebagai wilayah koloni atau pendudukan dan penjajahan Indonesia, syarat-syarat ini tidak berlaku. Karena misi dan tujuan penguasa kolonial Indonesia di West Papua seperti yang dijelaskan oleh Herman Wayoi.

"Pemerintah Indonesia hanya berupaya menguasai daerah ini, kemudian merencanakan pemusnahan Etnis Melanesia dan menggatinya dengan Etnis Melayu dari Indonesia. Hal ini terbukti dengan mendatangkan transmigrasi dari luar daerah dalam jumlah ribuan untuk mendiami lembah-lembah yang subur di Tanah Papua. Dua macam operasi yaitu Operasi Militer dan Operasi Transmigrasi menunjukkan indikasi yang tidak diragukan lagi dari maksud dan tujuan untuk menghilangkan Ras Melanesia di tanah ini..."    (Sumber:  Pemusnahan Etnis Melanesia: Memecah Kebisuan Sejarah Kekerasan Di Papua Barat: Yoman, 2007, hal. 143). Dikutip dari Makalah Tanah Papua (Irian Jaya) Masih Dalam Status Tanah Jajahan: Mengungkap Hati Nurani Rakyat Tanah Papua ( Bandar Numbay, Medyo Februari 1999).

Wayoi menegaskan pula:

"Secara de facto dan de jure Tanah Papua atau Irian Jaya tidak termasuk wilayah Indonesia berdasarkan Proklamasi 17 Agustus 1945. Jadi, Tanah Papua bukan wilayah Indonesia, melainkan dijadikan daerah perisai/tameng atau bumper bagi Republik Indonesia" ( Yoman: hal. 137-138).

Pemekaran kabupaten/provinsi di West Papua sebagai operasi militer itu terbukti dengan dokumen-dokumen Negara sangat rahasia.

Departemen Dalam Negeri, Ditjen Kesbang dan LINMAS: Konsep Rencana Operasi Pengkondisian Wilayah dan Pengembangan Jaringan Komunikadi dalam Menyikapi Arah Politik Irian Jaya (Papua) untuk Merdeka dan Melepaskan Diri Dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. ( Sumber: Nota Dinas. No.578/ND/KESBANG/D IV/VI/2000 tanggal 9 Juni 2000 berdasarkan radiogram Gubernur (caretaker) Kepala Daerah Tingkat I Irian Jaya No. BB.091/POM/060200 tanggal 2 Juni 2000 dan No.190/1671/SET/tertanggal 3 Juni 2000 yang berhubungan dengan tuntutan penentuan nasib sendiri orang Asli Papua.

Adapun data lain:  "Dokumen Dewan Ketahanan Nasional Sekretariat Jenderal, Jakarta, 27 Mei 2003 dan tertanggal 28 Mei 2003 tentang: 'Strategi Penyelesaian Konflik Berlatar Belakang Separatisme di Provinsi Papua melalui Pendekatan Politik Keamanan."

Lembaga-lembaga yang melaksanakan operasi ini ialah Departemen Dalam Negeri, Departemen Pertahanan dan Keamanan, Departemen Luar Negeri, khusus untuk operasi diplomasi, Kepolisian Kepolisian Indonesia, Tentara Nasional Indonesia, Badan Koordinasi Intelijen Negara (BAKIN), Badan Intelijen Stategis (BAIS TNI), KOSTRAD dan KOPASSUS.

2. Komparasi Jumlah Penduduk

2.1. Jumlah Penduduk Jawa Barat 46.497.175 jiwa.

2.2. Jumlah Penduduk Jawa Tengah 35.557.248 jiwa.

2.3. Jumlah Penduduk Jawa Timur 38.828.061 jiwa.

2.4. Jumlah Penduduk West Papua dalam dua provinsi masing-masing:  Papua 3.322.526 jiwa dan Papua Barat 1.069.498 jiwa.

Total Papua dan Papua Barat hanya 4.392.024.

Dari perbandingan jumlah Penduduk Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur dan West Papua terlihat terlampau jauh dan tidak rasional dan realistis untuk pemekaran kabupaten/provinsi di West Papua dari Sorong-Merauke.

Pertanyaannya ialah apakah penduduk hanya 4.392.024 membutuhkan banyak pemekaran kabupaten dan provinsi?

Dari kenyataan seperti ini, Pemusnahan Etnis Melanesia adalah nyata di depan mata kita.

Ini kejahatan Negara dalam keadaan sadar. Ini kejahatan pemerintah Indonesia dengan cara sistematis, terstruktur, terprogram dan masif.

Pemekaran kabupaten dan provinsi juga Politik Adu-Domba-Devide et Impera bagi rakyat dan bangsa West Papua.

3. Pengalaman Afrika Selatan

Penguasa kolonial Apartheid di Afrika Selatan pada tahun 1978, Peter W. Botha menjadi Perdana Menteri dan ia menjalankan politik adu-domba dengan memecah belah persatuan rakyat Afrika Selatan dengan mendirikan Negara-negara boneka:

3.1. Negara Boneka Transkei.

3.2. Negara Boneka Bophutha Tswana.

3.3. Negara Boneka Venda.

3.4. Negara Boneka Ciskei.

(Sumber: 16 Pahlawan Perdamaian Yang Paling Berpengaruh: Sutrisno Eddy, 2002, hal. 14).

Dalam konteks West Papua, penguasa kolonial Indonesia membuka kabupaten dan provinsi boneka Indonesia di Papua. Di dalamnya membangun basis-basis TNI-Polri untuk mengawasi kehidupan Orang Asli Papua, bahkan membantai mereka dengan berbagai bentuk stigma.

Pada 10 Juli 2019
Priska Loho dengan cerdas menulis dengan topik  DAMPAK NEGATIF DARI PEMEKARAN  PROVINSI DAN KABUPATEN. Priska dapat menggambarkan 8 (delapan) bahaya dan dampak negatif pemekaran kabupaten dan provinsi.

1. Pemekaran adalah pintu masuknya kapitalisme global, eksploitasi, eksplorasi, penembangan secara ilegal dan pemekaran ini yang memicu konflik di papua.

2. Pemekaran adalah pintu masuknya kolonialisme, transmigrasi, marginalisasi, militarisme dan yang akan merampas tanah adat.

3. Pemekaran tentu akan ada pergeseran budaya secara drastis.

4. Pemekaran dapat menjadi ancaman bagi rakyat papua karena yang sebenarnya rakyat papua tidak meminta pemekaran tapi minta lepas dari negara ini.

5. Akan ada transmigrasi. Non papua akan menguasai seluruh papua di kota sampai daerah terpencil.

6. Pemekaran akan membuka pintu masuk infasi militer besar-besaran di seluruh tanah papua.

7. Karena pemekaran juga akan terjadi pengurangan populasi orang asli papua Depopulasi secara drastis.

8. Karena pemekaran juga akan terjadi perusakan ekosistem alam dengan alasan pembangunan demi kemajuan kabupaten atau provinsi. Tapi kami tdk membutuhkan pembangunan sebab bukan kami yang nikmati karena kami sedang di bunuh habis.

Rakyat papua tidak meminta pemekaran provinsi dan kabupaten, karena itu akan merusak tatanan kehidupan rakyat papua di berbagai aspek kehidupan.

Dengan melihat wacana pemekaran provinsi dan kabupaten yang merupakan ancaman dan malapetaka bagi kehidupan rakyat papua, maka kami mahasiswa dan rakyat papua dengan kesadaran yang mendalam demi menjaga tanah sebagai mama dalam keberlangsungan hidup dan juga warisan leluhur bangsa papua dengan tegas MENOLAK PEMEKARAN PROVINSI BARU DAN KABUPATEN.

4. Saran dan masukan.

4.1. Para sarjana dan orang-orang terdidik dari bangsa West Papua, kelola dan bangun bangsamu dengan kabupaten dan provinsi yang sudah ada.

4.2. Anda semua harus sadar bahwa proses pemusnahan etnis bangsa West Papua dilakukan oleh Negara dan pemerintah Indonesia yang menduduki dan menjajah dengan terang-terangan dan juga tertutup.

4.3. Ikutilah dengan cermat bahwa Negara mendatangkan orang luar/orang Melayu Indonesia tanpa terkendali dengan tujuan perubahan demografi dan bagian tak kerpisahkan pemusnahan etnis bangsa West Papua.

Dalam keadaan sangat memprihatikan seperti ini rakyat dan bangsa West Tetap mempunyai Martabat (Dignity) dan HARAPAN (HOPE).

Waa...Nowe Nawot Kinaonak.

Ita Wakhu Purom, 10 Juli 2019.

DIMATA KOLONIAL BELANDA, IR. SUKARNO SEPARATIS, DIMATA PENGUASA APARTHEID INGGRIS, NELSON MANDELA KOMUNIS, DIMATA KOLONIAL INDONESIA BENNY WENDA SEPARATIS

WEST PAPUA:

DIMATA KOLONIAL BELANDA, IR. SUKARNO SEPARATIS, DIMATA PENGUASA APARTHEID INGGRIS, NELSON MANDELA KOMUNIS, DIMATA KOLONIAL INDONESIA BENNY WENDA SEPARATIS

Oleh Gembala Dr. Socratez S.Yoman

1. Pendahuluan

Saya harus mendidik dan menjagar baik-baik para anggota DPR RI dan juga penguasa kolonial Indonesia yang tidak banyak paham atau tahu tapi bikin diri pura-pura tidak tahu.

Anggota Komisi I DPR RI, ibu Evita Nursanty mengatakan:

"Saya menyesal dan mengencam apa yang dilakukan Dewan Kota Oxford yang memberikan Honorary Freedom of the City kepada Benny Wenda, sosok yang saya yakin sebenarnya tidak dikenal baik oleh Dewan Kota Oxford." (SINDONews, Rabu, 17/7/2019).

Soal sosok Benny Wenda, barangkali Ibu Evita anggota Dewan Terhormat yang tidak kenal beliau. Sepertinya ibu baru kaget nama pak Benny Wenda. Ibu perlu belajar banyak dan wawasan harus luas sebagai wakil rakyat, dan harus tahu bahwa basis pak Benny Wenda dan kampanye West Papua Merdeka di Oxford,  kantornya Walikota. Bagaimana Walikota Oxford tidak tahu pak Benny Wenda yang berada 14 tahun sejak 2005 di Oxford? Bagaimana Walikota tidak tahu pada kenyataannya setiap 1 Desember selalu kibarkan Bendera Bintang Kejora di bumbungan Kantor Walikota.

Komunitas global, kawasan Pasifik, termasuk Australia, New Zealand,  kawasan Afrika-Karabia, kawasan Eropa, Amerika,  Amerika Latin, nama Benny Wenda dikenal sebagai pahlawan sejati pejuang keadilan, pedamaian, kesamaan derajat, hak asasi manusia dan West Papua Merdeka.

Apa yang dikatakan ibu Evita benar karena sejarah selalu mengulang. "Belanda memberikan stigma Ir. Sukarno separatis karena ia melawan kolonial Belanda yang menduduki  Indonesia dari Aceh sampai Ambon. Penguasa Apartheid, Inggris memberikan label atau stigma kepada Nelson Mandela Komunis karena melawan kekuasaan Apartheid di Afrika Selatan. Kolonial Indonesia memberikan stigma separatis kepada Benny Wenda karena pak Wenda dan bangsanya sedang melawan kolonial moderen Indonesia yang menduduki dan menjajah rakyat dan bangsa West Papua. Apa yang disampaikan para penguasa Indonesia hanya pengulangan sejarah, tidak ada hal-hal baru yang mengejutkan kita semua."

2. Benny Wenda layak mendapat Penghargaan

Benny Wenda deserve the Honorary of Freedom of Oxford. Artinya, Benny Wenda  sangat layak,  berhak dan pantas mendapat pengharaan Freedom of Oxford. Karena Walikota dan amggota Dewan sudah kenal baik dan sudah tahu persoalan kejahatan kemanusiaan yang terjadi di West Papua.

Rakyat dan bangsa West Papua dan komunitas global tidak meragukan integritas, kredibilitas dan moral Benny Wenda. Benny Wenda bukan sosok pembohong seperti kebanyakan penguasa Indonesia yang tidak punya moral politik dan selalu merusak kredibilitas bangsanya dengan kejahatan kebohongan mereka selama ini di mata komunitas global.

Seorang teman diplomat pernah diskusi dengan saya: "Pak Socratez, ada seorang jenderal aktif TNI berbicara berapi-api tentang Papua, tapi saya hanya pura-pura dengar dia karena dia banyak bohongnya."

Peristiwa terbaru pada Februari 2019, pada saat Dewan Gereja Dunia (WCC) berkunjung ke West Papua, saya, pdt. Dorman Wandikbo, pdt. Yahya Lagoan temani Ketua Tim Peter Prove dan beberapa rombongan ke Wamena. Waktu kembali dan pada makan siang  anggota WCC sampaikan kepada saya: "Socratez, pertemuan tadi semu dan hampa. Sepertinya mereka sembunyikan sesuatu yang tidak baik, terutama komandan tentara itu dari mulutnya keluar banyak tipu."

Saya jawab kepada mereka: "Now you learn and you heard directly from them." Artinya, sekarang Anda belajar dan Anda dengar secara langsung dari mereka.

3. Ir. Jokowi Tidak Dipercaya  oleh rakyat West Papua

Penguasa  kolonial dan anggota DPR RI perlu tahu, bahwa Ir. Joko Widodo tidak sepenuhnya dipilih oleh rakyat West Papua. Rakyat yang memilih pak Jokowi paling 35%, tetapi 75% dipilih oleh pak  gubernur dan  para bupati, walikota dan KPU ikuti perintah gubernur. Jadi, legitimasi rakyat West Papua kepada Ir. Jokowi juga lemah. Karena pak Jokowi tidak pernah penuhi janjinya-janjinya.

Di West Papua Ir. Jokowi menang karena pak Gubernur perintahkan untuk para bupati dan walikota untuk memenangkan pak Jokowi.

Memang harus diakui jujur, diperkotaan itu pak Jokowi mendapat dukungan signifikan karena di kota banyak penduduk orang-orang Indonesia.

4. Tidak ada pembangunan sangat pesat di West Papua

Yang ada adalah operasi militer yang kejam di Nduga  atas perintah Presiden Ir. Joko Widodo. Apakah operasi militer sedang berlangsung itu yang dibanggakan pembangunan sangat pesat. Apakah Penduduk Asli diusir dari kampung halaman mereka itu yang dipromosikan pembangunan sangat pesat. Apakah anggota TNI menembak mati seorang Pendeta senor Nigiri dan menembak mati beberapa rakyat sipil itu kemajuan pesat? Kacamata apa yang digunakan penguasa Indonesia?

Yang ada di West Papua ialah banyak Orang Asli Papua ditembak mati tapi pembunuhnya tidak pernah ditangkap dan diproses hukum. Para pembunuh ada TNI-Polri mereka berjalan bebas tanpa salah dan dosa. Pembunuh Penduduk Asli Papua diberikan pangkat pahlawan dan promosikan jabatan.

Kemajuan pesat di West Papua ialah kekerasan, kekejaman, peminggiran Penduduk Asli Papua.  Kapan Ir. Joko Widodo penuhi janji  mau selesaikan kasus 8 Desember 2014 di Paniai dimana 4 siswa ditembak mati TNI?  Apakah Ir. Joko Widodo sudah menghukum para kriminal itu?  Apa yang dibanggakan dengan Presiden Ir. Joko Widodo? Yang jelas dan pasti: Ir. Jokowi presiden powerless/tak berdaya  karena berada dibawah ketiak TNI-Polri. Walaupun secara personal pak Jokowi orang yang hebat.

Pikiran baik ibu Evita untuk mengundang Dewan Kota Oxford untuk ke West Papua disambut baik.  Karena ini pikiran positif, maka Pelapor Khusus PBB, Wartawan Asing juga diundang ke West Papua supaya melihat pembangunan pesat yang digembor-gemborkan sampai di PBB itu.

Akhir dari tulisan ini, saya himbau kepada rakyat Indonesia kedepan pilihlah wakil rakyat untuk DPR RI yang cerdas, berwawasan luas, berpikiran obyektif, punya latar belakang pendidikan yang memadai. Sebut salah contoh pemimpin terdidik, berwawasan global, obyektif,  rasional dan punya nurani seperti: Jenderal Pol. Muhammad Karnavian Tito. Congratulatins pak Tito, Anda kembali dipercaya menjadi Kapolri. Anda memang layak mendapatnya. Selamat melayani.

Semoga berguna.

Ita Wakhu Purom, 17 Juli 2019.

Arsip Blog