Jumat, 02 Agustus 2019

KAMI TETAP DAN TERUS BERJUANG MELAWAN KOLONIAL FIRAUN MODEREN INDONESIA DENGAN JALAN DAMAI, BERMARTABAT, MANUSIAWI & SIMPATIK SERTA TERHORMAT SAMPAI ADA KEADILAN DAN KEDAMAIAN PERMANEN DI TANAH MELANESIA Oleh Gembala Dr. Socratez S. Yoman

WEST PAPUA:

KAMI TETAP DAN TERUS BERJUANG MELAWAN  KOLONIAL FIRAUN MODEREN INDONESIA DENGAN JALAN DAMAI,  BERMARTABAT, MANUSIAWI & SIMPATIK  SERTA  TERHORMAT SAMPAI ADA KEADILAN DAN KEDAMAIAN PERMANEN DI TANAH MELANESIA

Oleh Gembala Dr. Socratez S. Yoman

1. Pendahuluan

Kami sudah sekolah.  Kami sudah belajar. Kami sudah tahu. Kami sudah mengerti.  Kami sudah lihat dan sedang lihat. Kami sudah dengar dan sedang dengar. Kami sudah berpikir dan sedang dan terus berpikir.  Kami sudah alami dan sedang alami kekejaman dan brutalnya penguasa kolonial  Indonesia dengan kekuatan TNI-Polri dan seluruh perangkat hukum dan peraturan perundang-undangan yang  diskriminatif.

Dalam refleksi dan perenungan seperti ini, kami menyadari dan kami mengerti  bahwa kami bukan bagian dari Indonesia yang berumpun Melayu. Kami bangsa West Papua  berumpun Melanesia.

Dalam spirit ini, kami menggunakan konstitusi Indonesia sebagai salah satu landasan dan pijakan kami untuk berjuang masa depan anak dan cucu di atas tanah warisan leluhur dan nenek moyang bangsa Melanesia.

Mukadimah UUD 1945 memberikan ruang  kepada rakyat dan bangsa West Papua untuk berjuang Papua Barat Merdeka:

" Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan."

Perjuangan rakyat dan bangsa West Papua dijamin konstitusi Negara Republik Indonesia. Karena itu, pendudukan dan penjajahan Indonesia di atas rakyat dan bangsa West Papua harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan peri kemanusiaan dan perikeadilan.

2. Kami Berdiri Di Sini

Apa yang kami belajar, apa yang kami lihat, apa yang saksikan, apa yang kami alami dan apa yang dengar dan apa yang kami tahu, bahwa  kami SADAR bahwa penguasa kolonial Indonesia mendiduki, menjajah dan menindas  kami, bangsa West Papua, maka perlawanan  dengan "Kami Berdiri Di Sini" dengan alasan-alasan sebagai berikut.

2.1.  Manusia Gambar dan Rupa Allah

Berfirmanlah Allah:

"Baiklah Kita menjadikan manusia menurut gambar dan rupa Kita,..." (Kejadian 1:26).

Kitab Suci, Alkitab, Firman TUHAN menjelaskan bahwa manusia dijadikan oleh Allah sesuai gambar dan rupa TUHAN. Karena itu pembunuhan rakyat di West Papua atas nama keamanan nasional dan kepentingan kedaulatan NKRI HARUS dilawan.

TUHAN Allah tidak memberikan mandat dan kuasa kepada penguasa kolonial Indonesia untuk membunuh umat Tuhan di West Papua. Perilaku penguasa kolonial Indonesia dengan kekuatan TNI-Polri ialah tindakan biadab, kriminal dan berwatak Iblis yang kejam perusak manusia yang merupakan gambar dan rupa Allah

Firman Allah sudah jelas kepada kita semua:

"Jangan membunuh" (Keluaran 20:13).

Tetapi, penguasa kolonial Firaun moderen Indonesia dan TNI-Polri  melawan TUHAN Allah dan melawan Firman-Nya karena selama 58 tahun masih membinasakan dan merusak gambar dan rupa Allah.

Rasul Paulus ingatkan kepada kita semua.

"Tidak tahukah kamu, bahwa kamu adalah bait Allah dan bahwa Roh Allah diam di dalam kamu? Jika ada orang yang membinasakan bait Allah, maka Allah membinasakan dia. Sebab bait Allah adalah kudus dan bait Allah itu ialah kamu" (1 Korintus 3:16-17).

Pesan Rasul Paulus jelas dan tegas untuk kita semua. Kalau ada orang yang membinasakan manusia sebagai rumah dan bait Allah, maka TUHAN akan membinasakan orang itu.

Pesan ini kita tempatkan dalam konteks West Papua, pemerintah kolonial Indonesia dan TNI-Polri sedang membunuh,  membinasakan dan merusak umat Tuhan di West Papua atas nama NKRI, maka sebagai balasannya TUHAN Allah kapan saja membalas dengan membinasakan penguasa kolonial Indonesia, TNI- Polri dan membinasakan NKRI. Karena itu, pemerintah kolonial Indonesia dan TNI-Polri HARUS bertobat, berubah dan  berhenti melakukan kekerasan dan kejahatan kemanusiaan di West Papua.

2.2. West Papua Dari Sorong-Merauke Tanah Leluhur Kami.

Dasar lain yang perlu disadari dan dipegang oleh rakyat dan bangsa West Papua bahwa kami sebagai Tuan, Pemilik dan Ahli waris tanah Melanesia di West Papua. Di atas tanah ini tidak pernah ada bangsa asing menghuni pulau ini. Bangsa kolonial Indonesia sebagai bangsa asing baru menduduki dan menjajah bangsa kami sejak tahun 1961 sampai sekarang tahun 2019 sudah mencapai 58 tahun. Yang jelas dan pasti, kami sudah ada sebelum orang luar datang merampok tanah, menduduki dan memusnahkan di atas kami sendiri.

Leluhur dan nenek moyang bangsa West Papua tidak tahu namanya bangsa rumpun Melayu Indonesia. Leluhur kami tahu bahwa mereka bangsa berdaulat atas hidup di atas tanah mereka.  Mereka selalu bangga dan hidup dengan bermartabat serta terhormat

Sayang, kedaulatan bangsa West Papua berabad-abad itu dirampok, diduduki, dihancurkan oleh penguasa  kolonial Indonesia dengan misi politik, ekonomi,  keamanan dan pemusnahan Penduduk Asli bangsa West Papua.

Dalam keadaan semua benteng dan bendungan seperti  pagar, honai, noken, kebun sudah dihancurkan dan perahu sudah dibocorkan, rakyat dan bangsa West Papua harus ada kesadaran dan bangkit karena kami masih mempunyai HARAPAN (HOPE) dan MARTABAT (DIGNITY) sebagai pemilik dan ahli waris Tanah Melanesia ini. Singkat kata, Kami masih ada dan tetap ada di atas tanah leluhur kami dalam keadaan apapun. Karena di sini rumah dan hidup kami.

2.3.  Brutal dan Kejamnya ABRI (kini: TNI) dalam Pepera 1969.

Pepera 1969 akar masalah. Ini  akar penderitaan rakyat dan bangsa West Papua. Ini akar dari tetesan darah dan cucuran air mata rakyat dan bangsa West Papua. Pepera 1969 dimulainya tragedi kemanusiaan yang berkepanjangan di West Papua.

Bagian ini misi saya dengan konsisten dan terus menerus menulis dalam setiap tulisan saya. Karena penguasa Indonesia dengan berbagai cara dan terus mengkampanyekan bahwa akar persoalan di West Papua ialah Kesejahteraan. Upaya penyesatan penguasa kolonial Indonesia yang sistematis dan terstruktur dalam menghilankan akar masalah yang dipersoalkan rakyat dan bangsa West Papua.

Alasan saya, bahwa benang merah sebagai akar pokok persoalan ini jangan terputus,  apalagi digelapkan dan dihilangkan. Karena,  seluruh rakyat Indonesia dan komunitas Internasional belum tahu tentang kejahatan,  kekejaman dan brutalnya Tentara Nasional Indonesia (TNI) yang merampok hak politik rakyat dan bangsa West Papua pada 1969.

Menurut Amiruddin al Rahab: "Papua berintegrasi dengan Indonesia dengan punggungnya pemerintahan militer." (Sumber: Heboh Papua Perang Rahasia, Trauma Dan Separatisme, 2010: hal. 42).

Apa yang disampaikan Amiruddin, ada fakta sejarah,  militer terlibat langsung dan berperan utama dalam pelaksanaan PEPERA 1969. Duta Besar Gabon pada saat Sidang Umum PBB pada 1969 mempertanyakan pada pertanyaan nomor 6: "Mengapa tidak ada perwakilan rahasia, tetapi musyawarah terbuka yang dihadiri pemerintah dan militer?"
(Sumber: United Nations Official Records: 1812th Plenary Meeting of the UN GA, agenda item 108, 20 November 1969, paragraf 11, hal.2).

"Pada 14 Juli 1969, PEPERA dimulai dengan 175 Anggota Dewan Musyawarah untuk Merauke. Dalam kesempatan itu kelompok besar tentara Indonesia hadir..."  (Sumber: Laporan Resmi PBB Annex 1, paragraf 189-200).

Surat pimpinan militer berbunyi: " Mempergiatkan segala aktivitas di masing-masing bidang dengan mempergunakan semua kekuatan material dan personil yang organik maupun B/P-kan baik dari AD maupun dari lain angkatan. Berpegang teguh pada pedoman. Referendum di Irian Barat (IRBA) tahun 1969 HARUS DIMENANGKAN, HARUS DIMENANGKAN..."

(Sumber: Surat Telegram Resmi Kol. Inf.Soepomo, Komando Daerah Daerah Militer Tjenderawasih Nomor: TR-20/PS/PSAD/196, tertanggal 20-2-1967, berdasarkan Radio Gram MEN/PANGAD No:TR-228/1967 TBT tertanggal 7-2-1967, perihal: Menghadapi Refendum di IRBA ( Irian Barat) tahun 1969).

Militer Indonesia benar-benar menimpahkan malapetaka bagi  bangsa West Papua. Hak politik rakyat dan bangsa West Papua benar-benar dikhianati. Hak dasar dan hati nurani rakyat West Papua dikorbankan dengan moncong senjata militer Indonesia.  Kekejaman TNI bertolak belakang dengan fakta menyatakan mayoritas 95% rakyat West Papua memilih untuk merdeka.

"...bahwa 95% orang-orang Papua mendukung gerakan kemerdekaan Papua."

(Sumber: Pertemuan Rahasia Duta Besar Amerika Serikat utk Indonesia dengan Anggota Tim PBB, Fernando Ortiz Sanz, pada Juni 1969: Summary of Jack W. Lydman's report, July 18, 1969, in NAA).

Duta Besar RI, Sudjarwo Tjondronegoro mengakui: "Banyak orang Papua kemungkinan tidak setuju tinggal dengan Indonesia."

(Sumber: UNGA Official Records MM.ex 1, paragraf 126).

Dr. Fernando Ortiz Sanz melaporkan kepada Sidang Umum PBB pada 1969:

"Mayoritas orang Papua menunjukkan berkeinginan untuk berpisah dengan Indonesia dan mendukung pikiran mendirikan Negarva Papua Merdeka."  (Sumber: UN Doc. Annex I, A/7723, paragraph 243, p.47).

Pada 2 Agustus 1969 merupakan hari terakhir pelaksanaan Pepera 1969  di Jayapura. Pada saat ini siangkuh dan sombong Brigjen Ali Murtopo dari mimbar menghina dan mencemooh rakyat dan bangsa West Papua dari mimbar kepada anggota Dewan Musyawarah Pepera (DMP).

"Jakarta tidak tertarik kepada orang Papua, melainkan wilayahnya. Jika orang Papua ingin mandiri, lebih baik beranya kepada Tuhan, apakah Dia bisa memberikan orang Papua sebuah pulau di Pasifik tempat untuk berimigrasi." (Sumber: Kesaksian Pdt. Hokujoku anggota DMP).

Prof. P.J. Drooglever sejarawan Belanda mengatakan:

"Pada 22 Agustus 1968, Dr. Ferdinant Ortiz Sanz melakukan kunjungan pertama ke Irian Jaya Barat. Ketika ia tiba, tugas-tugas kepolisian sebagian besar sudah diambil alih oleh tentara, dan selama seluruh kediamannya lebih lanjut kerja misi kami dengan penduduk Papua diawasi dengan ketat." (Sumber: Drooglever: Tindakan Pilihan Bebas: Orang Papua dan Penentuan Nasib, 2010, hal. 693).

2.4. Pelanggaran Berat HAM sejak 1961-2019

Rohaniawan dan cendikiawan Katolik  Prof. Dr. Franz Magnes-Suseno yang berulang-ulang saya kutip di setiap essay atau artikel saya.

Prof. Franz Magnis mengakui kekejian dan kekejaman TNI dalam bukunya: "Kebangsaan, Demokrasi, Pluralisme" (2015). 

"...Kita teringat pembunuhan keji terhadap Theys Eluay dalam mobil yang ditawarkan kepadanya untuk pulang dari sebuah resepsi Kopassus. Situasi di Papua adalah buruk, tidak normal, tidak beradab, dan memalukan, karena itu tertutup bagi media asing. Papua adalah luka membusuk di tubuh bangsa Indonesia" (hal. 255).

Magnis menambahkan: "...kita akan ditelanjangi di depan dunia beradab sebagai bangsa yang biadab, bangsa pembunuh orang-orang Papua, meski kita dipakai senjata tajam" (hal. 257).

Aristoteles Masoka, sopir Theys Eluay yang ikut diculik belum pernah ditemukan. Pembunuh Theys dan sopirnya,  Letkol Hartomo Komandan Satgas Kopassus Tribuana, Hamadi-Jayapura pada 2001 (waktu itu) sekarang sudah menjadi Kepala BAIS.

Contoh terbaru, Operasi Militer Di Ndugwa awal Desember 2018-2019 memberikan fakta nyata pelanggaran berat HAM dan bencana kemanusiaan yang benar-benarkan ditimbulkan oleh TNI.

Akibat operasi militer Indonesia atas perintah Presiden RI, ada rakyat sipil yang ditembak mati, penduduk asli melarikan diri hutan-hutan dan pergi jauh dari tanah leluhur mereka karena ada operasi militer Indonesia.

Ada masih banyak pelanggaran berat HAM yang merupakan tragedi kemanusiaan  dan  masalah lain seperti perampasan tanah  dan pengrusakan hutan milik penduduk asli atas nama pembangunan nasional yang bias pendatang dan juga kepentingan penanaman kepala sawit yang tidak ada manfaat bagi Orang Asli. 

3. Kesimpulan

Tulisan pada saat ini, penulis menulis dengan judul agak panjang. "Kami Tetap & Terus Berjuang Melawan Kolonial Firaun Moderen Indonesia dengan jalan: Damai, Bermartabat, Manusiawi, & Simpatik serta Terhormat" dengan Topik: "Kami Berdiri Di Sini."

Dalam semangat memperjuangkan keadilan, perdamaian, martabat dan hak asasi bangsa West Papua, kami mempunyai pijakan dan alasan-alasan yang kami pegang untuk melawan penguasa kolonial moderen Indonesia.

Kami Berdiri Di Sini atau Kami Mempunyai alasan, dasar dan pegangan untuk membela dan mempertahankan martabat bangsa West Papua, yaitu: Manusia gambar dan rupa Allah; West Papua dari Sorong-Merauke Tanah leluhur kami; Brutal dan Kejamnya ABRI (kini TNI) dalam Pepera 1969; dan pelanggaran Berat HAM sejak 1961 sampai 2019.

Kita lihat dan alami kekerasan, kekejaman, kejahatan dan kebrutalan penguasa kolonial moderen Firaun Indonesia dan TNI-Polri tidak sepi/sunyi. Tanah West Papua telah menjadi ladang pembantaian Penduduk Asli. Ini ironi dan tragedi kemanusiaan di era peradaban moderen, informasi teknologi. Tapi sayang, kami masih manemukan perilaku TNI-Polri yang menindas bangsa West Papua dengan cara-cara kuno dan primitif. Sebenarnya, pendekatan kekerasan operasi militer adalah cara yang sudah usang. Cara berpikir penguasa kolonial Firaun moderen Indonesia dan TNI-Polri masih berada di era zaman batu.

Doa dan harapan saya, tulisan kecil ini menjadi berkat cahaya lilin kecil. Semoga!

Ita Wakhu Purom, 29 Juli 2019.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Arsip Blog