Judul : Pembantaian Timor Timur: Horor Masyarakat Internasional
Penulis : Joseph NevinsPenerbit : Galang Press, YogyakartaCetakan : I, Juli 2008Tebal : xxiii + 375 Halaman
Timor Timur merdeka dari indonesia melalui referendum pada tanggal 30 Agustus 1999. Kemerdekaan itu didapat setelah jajak pendapat yang dilakukan oleh Presiden BJ Habibie. Habibie mengeluarkan dua opsi pada rakyat Timor Timur: pertama, merdeka atau lepas dari Negara Kesatuan Republik Indonesia; kedua, diberi otonomi khusus atau tetap bergabung sebagai provinsi termuda Indonesia. Hasilnya, provinsi itu lepas dari Indonesia setelah pengumuman hasil referendum pada 4 September 1999 menunjukkan bahwa 78,5 persen penduduknya memilih opsi pertama.
Ide pelepasan Timor Timur dari Indonesia membawa luka dan sejarah kelam bagi negeri itu. Indonesia meninggalkan atau melepas Timor Timur dengan banjir darah, pembantaian besar-besaran, pembunuhan, pembakaran, pengusiran dan penghancuran fasilitas umum serta berbagai tindakan yang menjurus pada tindak kejahatan kemanusiaan lainnya. Puncak dari kejahatan kemanusiaan itu terjadi pada 4 September 1999 dan sejak saat itu Timor Timur kembali pada titik nol, titik balik peradaban dan kehancuran peradaban manusia.
Pada bulan September Tentara Nasional Indonesia dan kelompok milisi dilaporkan telah melakukan sejumlah pembunuhan, pembakaran rumah, dan pengusiran secara paksa terhadap warga Timor-Timur yang memilih untuk merdeka dalam referendum yang dilaksanakan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) itu.
Setelah selama seperempat abad pendudukan, sekitar seribu sampai dua ribu warga sipil terbunuh hanya dalam beberapa bulan sebelum dan beberapa hari sesudah referendum. Sekitar 500 ribu orang terpaksa meninggalkan tempat tinggal mereka dan lari mengungsi.
Kejadian yang mengiris hati itu terus berlangsung sampai Timor Timur mendapatkan kemerdekaannya pada 20 Mei 2002. Saat itu, keran demokrasi dibuka lebar dan kebebasan sudah bisa dinimati. Tetapi, di balik itu, warga Timor Timur masih menyimpan dan menyisakan luka yang menganga, luka kemanusiaan yang tidak cukup diungkapkan dengan sebuah buku.
Buku yang bertajuk Pembantaian Timor Timur: Horor Masyarakat Internasionalkarya Joseph Nevins, seorang aktivis peduli hak asasi manusia dari Los Angeles, ini mencoba merekam jejak tragedi kemanusiaan yang menimpa warga Timor Timur yang terjadi sebelum dan setelah referendum.
Bagi Nevins, Timor Timur adalah negeri yang penuh dengan konflik. Bahkan, menurut laporan Komisi Penyelidik Pelanggaran Hak Asasi Manusia (KKP HAM) Timor Timur yang dibentuk Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), kejahatan kemanusiaan yang terjadi itu merupakan hasil dari persekongkolan yang sudah sistematis dan meluas dengan baik.
Hal ini terbukti dengan adanya gelontoran dana yang yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Pemerintah Daerah dan alokasi anggaran rutin pembangunan daerah dan dana Jaring Pengaman Sosial (JPS) untuk membiayai pembentukan dan perekrutan anggota Pasukan Pengamanan Swakarsa (Pamswakarsa). Bukan hanya itu, TNI terbukti juga memasok berbagai persenjataan kepada para milisi, mulai dari senjata jenis SKS, M-16, Mauser/G-34, granat, pistol, dan sejumlah senapan rakitan. (hlm. xxi)
Lebih dari itu, kasus pembantaian dan kejahatan kemanusiaan yang terjadi di sana sudah terjadi sejak 1975 sampai 1999. Kejadian itu bermula dari operasi militer Indonesia pada 7 Desember 1975 ke wilayah seluas 14.615 kilometer persegi atau 0,76 persen dari luas Indonesia itu. Sejak itu muncul apa yang dikenal sebagai “masalah Timor Timur”, termasuk pembunuhan masal di Lacluta pada 1981 dan Kraras pada 1983, pembantaian di pekuburan Santa Cruz, dan puncaknya pada 1999.
Sejumlah kasus yang paling menonjol adalah pembantaian di gereja Liquica, pembunuhan warga Kailako di Bobonaro, penghadangan rombongan Manuel Gama, eksekusi penduduk sipil di Bobonaro, dan penyerangan rumah Manuel Carrascalao. Selain itu juga kerusuhan di Dili, penyerangan Diosis Dili, penyerangan rumah Uskup Belo, pembakaran rumah penduduk di Maliana, penyerangan kompleks gereja di Suai, pembunuhan di Polres Maliana dan pembunuhan wartawan Belanda, Sander Thoenes, serta pembunuhan rombongan rohaniawan di Lospalos (halaman xxii).
Buku ini merupakan pengalaman empiris penulis yang melihat sendiri aksi kekerasan yang dilakukan tentara Indonesia beserta milisi-milisinya. Nevins adalah saksi dari amuk dan kekacauan pada tahun 1999 yang berhasil melarikan diri, sehingga tiga tahun kemudian ia kembali ke Timor Timur untuk melihat keadaan negeri yang hancur di tangan TNI dan milisi itu.
Penulis menelusuri lorong-lorong, gang-gang dan jalanan sepanjang Timor Timur untuk merekam jejak pembantaian dan tragedi kemanusiaan yang melanda negeri itu. Di samping itu, ia juga mewawancarai orang-orang yang masih hidup setelah tragedi pembantaian, seperti Lilyana dan ibunya. Buku ini secara tajam mengupas keterlibatan negara dalam upaya pengerdilan sebuah bangsa. Hal ini akan menyakitkan bagi mereka yang terlibat, tetapi akan menyembuhkan peradaban.
Kejahatan yang dilakukan di Timor Timur bukanlah kejahatan yang biasa, tetapi kejahatan yang melibatkan seluruh umat manusia. Oleh karena itu, tidak menyelesaikan masalahnya berarti akan merusak upaya internasional untuk menuntut pertanggungjawaban dan mencegah kejahatan tersebut terulang lagi. Dalam hal ini, keadilan harus ditegakkan bukan hanya bagi rakyat Timor Timur, tetapi juga demi pemajuan hak asasi manusia dan hukum Indonesia dan seluruh dunia.
Tragedi pembantaian di Timor Timur merupakan bukti dari runtuhnya penegakan hak asasi manusia. Pembantaian itu adalah salah satu dari sekian banyak sejarah kelam kejahatan kemanusiaan yang terjadi di belahan dunia. Traumanya tidak akan terobati dengan sekadar jalinan persahabatan dan kasih.
Maka, apakah politik memang selalu jauh lebih utama daripada upaya pengungkapan kebenaran dan keadilan bagi para korban kejahatan kemanusiaan? Apakah nasib Timor Timur akan selamanya tragis dan mengenaskan? Sekarang saatnya bagi kita untuk mengingat dan membingkai apa yang terjadi di sana serta bagaimana implikasinya bagi keadilan, pertanggungjawaban dan hubungan internasional.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar