3 Desember 2018
Nduga: Mungkin Anda sudah membaca banyak berita ini. Televisi menyiarkannya terus menerus. Komentator sudah memberikan komentar tiada henti. Analis dan pakar juga menganalisa dari segala macam sudut.
Seringkali, dalam situasi seperti ini, ada narasi yang tidak terdengar. Dan juga tidak mau didengar.
Dalam kasus yang sering kita tidak dengar adalah suara dari Papua sendiri. Bagaimanakah orang Papua menarasikan peristiwa pahit seperti pembunuhan di Nduga ini?
Saya tidak menyuruh Anda untuk menyetujui pandangan ini. Kita tidak tahu apa yang sesungguhnya terjadi. Kita memerlukan penyelidik yang benar-benar independen untuk mengetahui apa yang terjadi. Kita membutuhkan ahli-ahli forensik dan para penegak hukum yang obyektif.
Namun berapa kali kejadian seperti ini, hasilnya malah menambah kebingungan. Lagipula, banyak temuan tidak ditindaklanjuti. Apa yang terjadi dengan temuan tim pencari fakta kerusuhan Mei 1998 di Jakarta, misalnya? Jika di Indonesia saja kita tidak mampu, apalagi di Papua.
Tulisan di bawah ini ditulis oleh seorang insinyur. Dia orang asli Papua. Dia juga menyandang magsiter teknik dan lama bekerja di Dinas PU di Papua.
Argumen tulisan ini sederhana saja. Peristiwa Nduga terjadi akibat militerisasi di daerah pegunungan Meepago dan Lapago. Dulunya, penduduk disini sangat dekat dengan orang Amber, pendatang menurut bahasa setempat. Namun, kehadiran militer (baik tentara maupun polisi -- Brimob sesungguhnya adalah pasukan infrantri) mengacaukan situasi.
Salah satu akibat terburuk dari militerisme adalah bagaimana dia menimbulkan ketakutan di kalangan masyarakat. Karena kepentingan intelijen, militer mulai menyaru menjadi apa saja -- guru, buruh, pedagang keliling, dst. Disini permusuhan muncul.
Belum lagi, jika intelijen militer melakukan penggalangan dan perang psikologis. Kalau saja Anda belajar akan apa yang terjadi di Kalimantan Barat pada tahun 1967, Anda akan tahu bagaimana brutalnya operasi intelijen.
Untuk memisahkan gerilyawan PGRS/Paraku dari orang Cina dan Dayak yang sering memberi mereka makan, maka militer membunuh beberapa Temenggung Dayak, memotong kelaminnya, memasukkan ke mulutnya, dan menulis aksara Cina di tubuh para pemuka Dayak itu.
Hasilnya? Sebuah epiose sejarah yang paling menyakitkan (dan tidak pernah diceritakan!) terjadi. Orang Dayak marah dan mengusir puluhan ribu orang Cina dari pedalaman.
Tragedi kemanusiaan ini tidak pernah dibicarakan. Namun, akibatnya ditanggung sampai sekarang. Yang lebih penting lagi, pola operasi itu menjadi pakem (playbook) operasi anti-gerilya.
Saya tidak menceritakan ini tanpa dasar. Mantan Panglima Kodam Tanjungpura, Mayjen TNI Soemadi, menulis sebuah buku dan menceritakan operasi itu, yang dia namakan "Psy-War."
Jika Anda meneruskan membaca tulisan di bawah ini, perlakukanlah tulisan ini sebagai satu narasi. Anda boleh mempercayainya. Boleh juga tidak. Namun, narasi seperti ini mungkin akan membantu Anda untuk melihat masalah dengan lebih jernih.
---
Penembakan yg Ironis di Nduga, Papua
Tidak mungkin OPM menembak buruh bangunan sampai 30 an org.Pasti ada ceritanya. Sejak thn 1970an Rakyat terpencil di Papua ataupun TPN OPM membutuhkan guru ataupun tukang non Papua. Sudah terbukti puluhan tahun guru2 dan tukang dr Toraja, flores, ambon, batak dan jawa hidup aman di pegunungan Meepago sampai Lapago di sana. Para petugas non Papua ini sejak thn 1970 biasa jln kaki sendirian dr pos2 ke wamena atau ke mulia, ilaga dan enaro dgn aman2 sj, malahan terkadang mrk dpt oleh2 dr org kampung. Jasa2 mereka tiada duanya. Banyak org gunung sukses krn guru2 biak, serui, ambon, flores, toraja, jawa, batak dll. Tak bisa dipungkiri akan hal itu. Hidup seperti kaka beradik, ale rasa beta rasa. Kepada mereka jangankan tembak, bermusuhan sj rasanya tdk mungkin.
Tapi semua itu berubah di akhir tahun 2000an, berubah ketika ada kehadiran Aparat Keamanan bersenjata di daerah gunung. Org amber yg duluhnya dipandang sbg Sang guru oleh org gunung justru digugurkan oleh saudaranya Aparat kemanan brutal yg datang belakangan ke gunung. Aparat dtg terasa menghancurkan pandangan org gunung yg polos terhadap org amber yg duluhnya dipandang sebagai sang guru dan sang pembuka cakrawala. Tentara dtg seakan hancurkan hubungan baik dgn amber yg lama terbangun itu.
Cerita Nduga lain lagi.. selain Aparat dinilai brutal, akhir2 ini TNi mulai menjadi kontraktor pembangunan jalan trans Papua di sana. Pembangunan Jln ke Nduga dgn alasan keamanan dikerjakan oleh aparat TNI. Memang bnyak juga kontraktor biasa tp krn tdk merakyat ada yg akhirnya juga gunakan tenaga aparat keamanan sebagai pekerja atau pengamanan di lapangan. Dlm keadaan ini jelas OPM sulit bedakan mana buruh benaran dan mana tentara yg menyamar sebagai buruh. Rakyat memamg sdh lama trauma dgn org yg namanya tentara dan aparat bersenjata. Ketika rakyat makin cerdas, juga memoria passionis menumpuk di alam bawa sadar. Jangankan ada org non Papua yg foto ke arah rakyat, dipandang lama2 saja dikira org itu aparat yg menyamar atau tukang yg jadi mata2 TNI. Muncul was2, Pasti hasil dr mata2 itu, Kemudian TNI akan segera datang serang.
Efek dari penyamaran seperti ini, rakyat yg sering dpt operasi militer mudah curiga dan was2. Curiga bukan ke TNI/POLRi sj tp juga ke guru2, tukang dan PNS non Papua di daerah pemekaran. Golongan abdi masyarakat yg duluhnya aman2 sj kini jadi was2 dan mudah dicurigai sbg kaki tangan Aparat.
Kehadiran Tentara seolah merampas keamanan hakiki yg pernah ada di hutan belantara Papua. Solusi yg terbaik bukanlah kejar KKB atau OPM tp Sebaiknya tentara angkat kaki dari nduga, biarkan guru, tukang2 dan mantri non Papua berkeja seperti sedia kalah. Nduga akan aman tanpa tentara.
Selanjutanya aparat keamanan berhenti jd kontraktor atau jaga2 di proyek. Nanti banyak yg salah sangka. Yg tukang nanti dikira tentara, apakagi tukang yg baru tiba dan blm paham sikon masyarakat. Mrk bisa jadi korban mati bodok2. Kita mau Papua ini tanah damai. Allah akan selalu beri Rejeki yg lebih tanpa hrs jd kontraktor. Kembalilah ke habitatnya.
Awi jr, negeri yali, 4 des 2018.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar